data-ad-format="auto"

Menimbang Nilai Budaya Ke-Indonesia-an




Oleh: Syaiful Radya
Dosen STIKES Surabaya

Maju mundurnya kebudayaan termasuk budaya lokal tergantung pada perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya. Kondisi ini dipengaruhi oleh nilai-nilai dan pandangan hidup serta sistem kehidupan yang tumbuh berkembang dalam masyarakatnya (Alexander Bird, 2006)

Kilas Balik Sejarah
Memandang sejarah bukan berarti sedang merasa genit pada masa lalu, tetapi sekedar memberi salam dan bercermin sejenak memandang gambar masa lalu. Demikian pula dalam memandang peradaban budaya jaman ini, maka menengok masa lalu akan terasa menggairahkan, sambil menikmati secangkir kopi, atau dengan sedikit iringan musik instrument yang lembut untuk memulai menengok sejarah kebudayaan, budaya yang menjadi semboyan di negeri ini, budaya “Bhieneka Tunggal Ika. 
Memang tampak tidak ada yang istimewa dalam Bhineka tunggal ika, dan hampir semua penduduk Indonesia yang tinggal di jawa mengetahui, bahwa  Bhineka Tunggal Ika adalah sastra yang ditulis pujangga Mpu Tantular dalam kitab Sotasoma. Kita semua tentu telah tahu tentang itu, namun apakah penemuan Bhineka Tunggal Ika ini lahir dari inspirasi begitu saja? Tentu saja kitab Sotasoma tidak ditulis hanya berdasarkan selera sastra sang pujangga, namun melalui riset antropologi. Mpu Tantular adalah antropolog jaman Majapahit yang mampu memaparkan sistem demokrasi, toleransi, kebersamaan dalam keragaman kehidupan masyarakat, serta kehidupan sosial yang sejahtera dan harmonis di jaman Airlangga berdasarkan prasasti dan kisah yang dibacanya dari lembar lontar (manuscript). Lantas apa untungnya bagi Mpu Tantular begitu susah payah menggali kuburan masa lalu bila temuannya tidak menimbulkan dampak bargaining politic, dan tidak ada untungnya bagi seorang antropolog. Politik dan kekuasaan sangatlah tidak penting dibandingkan pengetahuan tentang hidup dan nilai-nilai yang dapat digali dari sisa-sisa kebudayaan masa lalu. 
Kehidupan berbangsa pada masa lalu dapat dirumuskan menjadi Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan pengejawantahan nilai-nilai dari sistem demokrasi yang dilewati melalui proses terjal, dan menjadi lebih terjal pada masa sekarang yang dikatakan serba canggih. Jadi kita perlu menyadari bahwa formulasi yang dirumuskan oleh Mpu Tantular  tidak begitu saja muncul dari sebuah gagasan yang belum ada, tetapi melalui proses perenungan, penghayatan, dan kristalisasi pemikiran yang panjang untuk dapat mencapai suatu gagasan yang gemilang. 
Mpu Tantular sebagai seorang antropolog telah tuntas mempelajari sistem sosial di masa Raja Airlangga melalui lontar, bebrapa prasasti dan cerita turun temurun. Cerita seputar Airlangga yang mendorong desa-desa adat agar mengukuhkan hukum adat masing-masing, dan setiap desa adat diperintahkan agar memiliki 40 prajurit adat yang menjaga berlangsungnya hukum adat. Sehingga hukum adat menjadi tegas, adil, mandiri dan terkawal. Kemudian Mpu Baradah membantu menyatukan dan menyempurnakan hukum-hukum adat yang berbeda-beda menjadi hukum negara. Pada akhirnya system sosiologis ini di adopsi sebagai benih-benih idiologi dan faham kesederajatan, serta ketuhanan dalam dimensi spiritual yang mencerminkan perilaku toleransi masyarakat. 
Mengkaji Bhineka tunggal ika dari masa lampau bukan berarti saya mengajak berpikir mundur, tetapi mengajak untuk mengenali peristiwa yang dapat diproyeksikan dalam kehidupan sekarang. Bagaimana kehidupan yang damai dan menjunjung tinggi toleransi, kebersamaan, dan kesejahteraan sosial seperti pada masa lalu dapat dwujudkan. Sistem budaya nusantara dibangun dan diatur dengan memprioritaskan kesejahteraan social, dan negara mampu menjamin keragaman, sehingga keragaman menjadi asset bagi berlangsungnya kehidupan yang dinamis, damai dan sejahtera.  
Wajah Bhineka Tunggal Ika adalah akomodasi negara pada local wisdom yang setiap individu dituntut untuk menjaga keharmonisan sosial, dan wajah ini tidak luput dari pengamatan seorang budayawan WS. Rendra, yang juga dengan bangga menuliskan kumpulan sajak “Sajak Sebatang lisong. Karya WS. Rendra berikut.
Oh Sanjaya, Leluhur dari kebudayaan tanah Oh Purnawarman, Leluhur dari kebudayaan air Kedua wangsa mu telah mampu mempersekutukan budaya tanah dan budaya air, tanah-air

Oh Resi Kuturan, Oh Resi Nerarte, Empu-empu tampan yang penuh kedamaian Telah kamu ajarkan tatanan hidup yang aneka dan sejahtera Yang dijaga oleh dewan hukum adat
Bagaimana aku bisa mengerti bangsa bising dari bangsaku ini?
Oh Katjau Lalido, Bintang cemerlang tanau ugi Negarawan yang pintar dan bijaksana Telah kamu ajarkan aturan permainan di dalam benturan-benturan keinginan yang berbagai ragam dalam kehidupan Ade, Wicara, Rabang, dan Wali Ialah adat, peradilan, Yudis-prodensi, dan pemerincian perkara Yang dijaman itu, di Eropa, belum ada Kode Napoleon 2 abad lagi baru dilahirkan, dst

Bhineka Tunggal Ika melebur dalam globalisasi 
Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa, dalam bahasa aslinya dapat diterjemahkan sebagai Kebenaran yang diajarkan Budha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua, karena pada hakikatnya tidak ada kebenaran yang mendua. Suatu pernyataan yang sarat muatan filosofis, sebagai bagian dari tradisi yang dapat dijadikan turning point untuk pindah ke khazanah filosofis selanjutnya, atau sebagai gateway untuk masuk ke alam pikiran budaya Indonesia.
Antropolog Ruth Benedict menyebut bahwa budaya adalah as pattern of thinking and doing that runs through activities of people and distinguished them from all other peoples yang berarti bahwa pola pikir dan tindakan seseorang akan tercermin melalui aktifitasnya dan hal itu yang membedakannya dari orang lain.  Artinya kebudayaan bisa menjadi suatu idea atau gagasan.  Ide atau gagasan adalah pikiran-pikiran yang muncul dari individu atau masyarakat atau bangsa yang terus menerus mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan manusianya. Sudah barang tentu, bahwa perubahan yang terjadi di masyarakat tidak terlepas dari perubahan yang terjadi dalam unit masyarakat terkecil, yaitu keluarga. Bila dirinci, ini tidak lepas dari perubahan pada tiap diri individu. Perubahan dalam individu merupakan induk dari perubahan masyarakat. Bila individu berubah maka akan memicu perubahan dalam masyarakat dan perubahan budaya termasuk budaya lokal. Individu yang terus berubah ke arah lebih baik akan menjadi manusia yang utuh. Ia menjadi sosok manusia yang bekerja dengan rasa tanggungjawab, mengerjakan pekerjaan sesuai bakat, bekerja secara rasional, bekerja secara sistematis, bekerja efisien, bekerja keras, bekerja dengan rajin, bekerja dengan tekun, bekerja dengan pengharapan, dan bekerja dengan rasa cinta kepada Tuhan dan sesama. Lambat laun ia mempengaruhi orang-orang di sekelilingnya bahkan berpotensi untuk mempengaruhi masyarakat, jadi perubahan individulah sebagai dasar perubahan dalam budaya masyarakat.
Perubahan yang terjadi pada masyarakat akan mempengaruhi budaya, dan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan yang lain. Tidak mengherankan bila budaya lokal mengalami perubahan. Dalam masyarakat Jawa ada banyak perubahan terjadi dalam masyarakat dan budayanya, salah satu contoh yang terjadi di kota adalah bahwa mayoritas putra-putri Jawa yang lahir dan besar di kota tidak bisa berbahasa daerah. Tulisan dalam bahasa Jawa minim dan kalah bersaing dengan tulisan-tulisan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Itulah fakta, apakah budaya lokal akan bertahan di masa-masa mendatang? Apakah budaya Jawa, budaya Batak, budaya Sunda, dan budaya lainnya akan bertahan?
Kemudian adanya unsur tindakan atau aktifitas, yaitu bagaimana seseorang, satu masyarakat atau bangsa berpikir, bekerja, berbicara, dan melakukan aktifitas lainnya. Dari karya Max Weber, The Protestan Ethics & Spirit of Capitalism, kita mendapatkan gambaran tentang konsep kerja masyarakat Barat, khususnya masyarakat Eropa Barat pada abad ke-17 sampai dengan abad ke 19. Sampai sekarang, konsep kerja yang dituturkan oleh Weber masih ditemukan di Barat. Orang Barat bekerja dengan rajin dan punya tanggung-jawab terhadap pekerjaannya. Ada Professional Responsibility. Mereka menekuni pekerjaannya, mereka bekerja secara rasional dan sistematis. Bukan hanya dalam pekerjaan, bahkan rasionalitas dan sistematis ini dapat ditemukan dalam seni berkomunikasi dan seni sastra. Orang-orang Barat berusaha bicara seefektif mungkin; langsung to the point; tidak banyak basa-basi; susunan kata-katanya teratur dan penggunaan kata tidak berlebihan.
Unsur budaya selanjutnya adalah hasil karya, yaitu produk yang dihasilkan dari satu individu, masyarakat atau bangsa. Produk-produk Barat misalnya bermutu tinggi. Harga jam merek Rolex (Pre-Owned Rolex Women's Presidential Watch) bisa berkisar puluhan juta rupiah. Harga mobil Mercedes-Benz atau BMW bisa ratusan juta rupiah. Barat mampu membuat pesawat ulang-alik. Bill Gates menemukan Microsoft, menemukan Internet yang mampu mengakses informasi dengan mudah dan menghubungkan manusia dari ujung bumi yang satu ke ujung bumi yang lain. Juga masih ada Facebook yang dapat menghubungkan siapa saja di dunia ini dalam konteks sosial.
Benturan budaya tidak terelakkan. Kita tidak dapat menghindari benturan antara budaya lokal dengan budaya luar. Disadari atau tidak, banyak dari antara kita merasakan pengaruh budaya yang tidak berasal dari budaya nasional. Kita lihat pengaruh internet. Facebook, Twitter, Blackberry, handphone, dan berbagai produk budaya luar telah mempengaruhi kehidupan kita.  Masih ada buku, media asing atau interaksi langsung dengan orang Barat, dan informasi begitu terbuka sehingga sulit membendung nilai-nilai budaya luar, apakah itu nilai yang baik seperti kebebebasan berpikir ataupun nilai yang buruk seperti film porno yang bersentuhan dengan mudah dalam kehidupan kita.

Refleksi: Abrasi Kebudayaan 
Perubahan dalam masyarakat merupakan hasil dari pertemuan nilai-nilai. Ada interaksi antara nilai yang satu dan nilai yang lain; ada dialog antara pandangan hidup yang satu dan pandangan hidup yang lain. Ada ujian terhadap masing-masing sistem kehidupan. Masyarakat akan berpikir dan bertindak sesuai dengan nilai, pandangan hidup atau sistem kehidupan yang diterima. Tindakannya merupakan pancaran dari nilai, pandangan hidup dan sistem kehidupan yang diterima. Bagaimana masyarakat berpikir, bertindak, bekerja, menggunakan waktu, berkeluarga, berkehidupan sosial, bertetangga, dan melakukan aktifitas lainnya ini semua merupakan gambaran dari nilai-nilai yang telah diterima masyarakat.
Di sisi yang lain, kita juga harus menghadapi tantangan dari budaya Cina yang akan mewarnai kehidupan kita. Pemikiran Confucianisme yang telah ribuan tahun mempengaruhi bangsa Tionghoa, juga akan segera mempengaruhi masyarakat dan budaya lokal kita. Di dalam negeri sendiri budaya lokal telah bersentuhan dengan budaya lokal lainnya, misalnya mahasiswa yang pindah dari satu daerah ke daerah lain atau dari kota yang satu ke kota lain membawa nilai-nilai budaya lokalnya. Mau tidak mau ia harus menghadapi budaya yang ditemui di daerah atau kota yang baru.
Pertemuan antara dua atau beberapa budaya memang tidak dapat dihindari dan akan ada benturan nilai serta sistem kehidupan. Benturan tidak selalu dalam bentuk phisik, namun bisa berbuntut pada benturan phisik. Apa akibat dari pertemuan budaya yang berbeda ini? Budaya yang kuat akan menang pada akhirnya sekalipun itu harus melalui pertarungan yang keras dan waktu yang panjang. Bagaimana generasi Indonesia menghadapi hal ini? apakah kita akan lari atau menutup diri seolah-olah pengaruh budaya luar ini tidak ada? ataukah kita berdiam diri dan merelakan budaya lokal kita hanyut?
Kita harus berbesar hati menghadapi kenyataan ini dan waspada terhadap nilai-nilai dari budaya luar. Kita perlu menilai budaya kita pada masa sekarang; nilai-nilai manakah yang harus diambil dan nilai mana yang harus ditolak. Kita juga harus bersabar bila nilai-nilai dari budaya yang tinggi akan memenangkan pertarungan, sebab ada kemungkinan kita sendiri akan meninggalkan nilai-nilai budaya lokal dan merangkul nilai-nilai budaya luar yang kita anggap lebih baik.
Hadirnya Aula Simfonia Jakarta, Concert Hall yang bertaraf internasional di Kemayoran Jakarta adalah contoh benturan budaya yang dapat kita lihat. Concert Hall ini sudah menggairahkan dunia seni, khususnya seni musik klasik. Masyarakat yang tingggal di Jakarta bisa menikmati pagelaran musik klasik di Concert Hall setiap bulan. Kita tidak perlu pergi ke luar negeri untuk bisa menikmati keindahan karya-karya klasik seperti karya Johan Sebastian Bach, Mozart, Beethoven, Strauss, Mendellson, dan komposer besar lainnya. Tentu saja kita juga tidak dapat menolak keindahan musik klasik yang sekaligus telah menjadi tantangan bagi musik tradisional. Itulah salah satu dampak kehadiran budaya luar dalam kehidupan kita karena eksistensi kemanusiaan kita memang dirancang untuk mengagumi hal-hal yang bermutu dan indah. 
Demikian juga dalam masyarakat ada yang pro budaya lokal dan ada menolak. Kemudian muncul pertanyaan,"Bagaimana menilai budaya lokal? dengan dasar apa kita menilainya?" Mau tidak mau kita harus mencari jawabannya pada opsi-opsi yang ada. Opsi pertama adalah menggunakan hati nurani dan akal. Manusia memiliki hati nurani dan akal yang bisa membedakan apa yang benar dan tidak. Dengan demikian, kita mempunyai kemungkinan untuk membuat penilaian terhadap budaya. Melalui rasio, kita dapat membuat analisa dan kesimpulan apakah nilai-nilai budaya lokal benar atau tidak benar. Namun demikian, ini bisa memicu munculnya pertanyaan. Apakah hati nurani atau rasio atau diri kita dapat dijadikan sebagai patokan yang mutlak untuk mengevaluasi budaya? Jawabannya mungkin tidak meyakinkan, karena manusia bukanlah sosok yang mutlak, manusia bukan Tuhan. Manusia mempunyai banyak kesalahan dan kelemahan. Sebab itu, opsi yang dapat kedua menjadi pilihan terakhir. 
Opsi Kedua adalah menggunakan standar lain, yaitu Kitab Suci yang masih  dianggap sebagai pedoman bagi orang-orang yang percaya kepada Ketuhanan yang Maha Esa untuk menilai setiap aspek kehidupan termasuk budayanya. Bila Tuhan adalah mutlak dan Kitab Suci juga dianggap mutlak, maka masyarakat perlu melihat prinsip-prinsip dalam Kitab Suci. Namun, bagaimana pandangan Kitab Suci terhadap budaya tetap harus dilihat lebih jauh dalam pandangan agama-agama yang ada dengan memperhatikan toleransi, atau kita masuk pada opsi paling akhir, yaitu kembali pada Undang-Undang Dasar, atau budaya Indonesia akan menjadi sejarah seperti budaya Sumerian, Mesopotamia, Mesir Kuno, dan Babilonia. Kini tinggal budaya barat dan agama yang masih eksis, tentu saja budaya ini pun masih akan diuji oleh waktu, dan seberapa kuat budaya ini akan bertahan? 


Gunung Anyar, 12 Juli 2012

Bibliografi
Pernah menjadi bagian dari keluarga Teater Witel VII, Kepala Bidang Pendidikan Anak di YPPAY Adinda Surabaya, dan sejak tahun 2004  aktif melakukan berbagai penelitian psikologi, pengamat pendidikan dasar dan menengah di LPKS Bintang Timur, dan menulis beberapa kumpulan essay dalam kapasitas sebagai Ghost Writer. Aktif sebagai konsultan program pengembangan SDM di Talent Club Resources Indonesia, dan sekarang dalam proses menulis buku-buku true story, serta sebagai konsultan Statistik.


0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE