data-ad-format="auto"

Putri Ratu Memaksa Melihat Tuhan (Bag. 11/ Tamat)



Syaiful AH
Alumni F.Psikologi Untag Surabaya
May 2, 2011


Setelah menunjukkan dimana Tumenggung Kriya bersembunyi, Ksanti langsung menghujamkan kerisnya ke punggung samhala hingga menembus dadanya. Mahapatih terlambat mencegah, dan tidak ada penyesalan, karena hanya samhala yang durjana, tentu semua perwira di wirogunan yang melihat kejadian itu menyetujui tindakan Ksanti meskipun Mahapatih sedikit menyesalkan. Bulan sabit di atas langit mulai tampak meskipun malam ini diselimuti mendung. Suara serangga malam, jangkrik dan sekali waktu suara kodok dan kepak sayap kelelawar terdengar melintasi udara. Derap kaki kuda-kuda bergerak cepat, Putri Ratu dan Mahapatih Nilakanta bersama puluhan pasukan Mahisasura melaju ke Puri Boko Timur memburu tumenggung Kriya yang membawa Bhagawan Dapunta. Di depan dinding puri, di bawah menara, 5 pasukan Mahisasura melemparkan tali ke atas menara dan langsung bergerak meluncur ke udara, memanjat menara, pakainnya pekat seperti gelap malam, tidak terlihat. Mahapatih dan Putri Hita menunggu di depan dinding Puri, dan pasukan Mahisasura lainnya bergerak memutar mengepung puri. Ternyata benar keterangan samhala, tumenggung Kriya bersembunyi di Puri Timur. Tidak lama kemudian prajurit jaga yang mengetahui kehadiraan Sang Putri segera membuka pintu gerbang, pintu gerbang berderit suaranya, dan seketika itu pula tumenggung Kriya keluar dari dalam menara dengan tangan kiri menarik rambut Bagawan Dapunta, dan tangan kanannya memegang sebilah parang dan menempelkan di leher Sang Bhagawan, diikuti 3 pasukan Mahisasura di belakangnya dengan anak panah yang siap melesat. Pasukan pengawal puri langsung mengepung, tetapi Sang Putri segera memerintahkan semua pasukan untuk mundur dan menjauh dari tumenggung Kriya yang menyandera Bhagawan. Mahapatih segera membentak tumenggung Kriya, “apa yang kamu inginkan dimas Kriya? Kenapa kamu berhianat pada Negara?”, Tumenggung Kriya tidak mempedulikan pertanyaan Mahapatih, dan segera memandang tajam pada Sang Putri, “Aku telah penuhi keinginanmu, aku akan meminangmu, inilah mas kawinku”. Sang Putri menganggukkan kepala sambil tersenyum, dan tumenggung Kriya menarik parangnya dengan cepat, dan seketika itu, darah menyembur di udara, suaranya seperti air yang menyemprot dari pipa, tubuhnya terhuyung dan sekejab suara gedebuk roboh di tanah dengan darah yang terus menyembur membasahi tanah. Bhagawan Dapunta, tubuhnya telah roboh di tanah, dan Tumenggung Kriya melempar kepala Bhagawan ke muka, kepala menggelinding dan tepat di bawah kaki Sang Putri.Tanpa berkata, Ksanti melihat tangan kiri Sang putri terangkat, dan segera melompat ke muka menghujamkan kerisnya ke dada tumenggung Kriya, dan dengan sigap Tumenggung melompat mundur, dan Ksanti memburunya. Mahapatih masih terkesiap melihat Bhagawan Dapunta yang menemui ajalnya dengan kepala terpenggal, Ksanti bertarung dengan tumenggung Kriya, dan tidak terlalu lama keris beracun di tangan Ksanti menancap di dada tumenggung Kriya yang diikuti suara gedebuk tubuh tumenggung yang roboh, menggelepar sesaat, sekarat dan langsung binasa. Kepala pengawal puri segera menghadap Mahapatih, “mohon ampun ndoro, biarlah semua yang ada di sini dan menjadi tanggung jawab kami, akan kami selesaikan, dan bila berkenan Mahapatih segera kami antarkan untuk beristirahat”. Mahapatih mengangguk, dan menaiki kudanya untuk kembali ke rumah dan di kawal beberapa pasukan Mahisasura. Putri Hita menatap bulan sabit, dan manganggukkan kepala menjawab Mahapatih yang segera pamit meninggalkan puri. Bulan sabit warnanya pucat, setiap waktu hilang tertutup awan hitam yang lewat. Dua tiga kilatan petir menyambar dari langit tanpa suara. Angin dingin berhembus cukup kencang, dan Putri Hita memandang langit, dengan suara lantang Putri Hita berkata, “Sekarang lihatlah Tuhan Mahadewa, lihat kekasihmu, orang yang kamu cintai, Bhagawan Dapunta Guru Sang Pertapa, lihatlah, kepalanya kuinjak dibawah kakiku. Marahlah kepadaku”. Putri Hita mencabut kerisnya dan memandang ke langit, seluruh pasukan pengawal dan mahisasura bergerak mundur menjauhi sang Putri, petir terus menyambar dan hujan mulai datang. Putri Hita mengepalkan kerisnya ke udara dan berteriak, “Hai Dewata, apakah engkau dalah Tuhan, atau Sywa atau Bwrahma atau Wisnu, marahlah kepadaku dan tunjukkan wajahmu”. “Lihatlah, manusia yang kamu cintai telah kubunuh dan kuinjak-injak kepalanya, marahlah kepadaku Hai Batarai Durga” Hujan semakin deras, angin bertiup kencang, diikuti suara gemuruh Guntur dan dan petir. Putri Hita menarik tali kudanya, dan menunggangi kudanya berputar-putar mengelilingi kepala Bhagawan Dapunta yang terpisah dari tubuhnya. Di atas kudanya Putri Hita terus berteriak menengadah ke langit dan memanggil-manggil Tuhan, Putri Hita mencaci maki Tuhan agar Tuhan marah dan menunjukkan wajahnya meskipun hanya sesaat. Suara hujan dan Guntur menenggelamkan suara Sang Putri dari penghuni Puri, selain prajurit jaga dan Mahisasura tidak ada yang mendengar teriakan sang putri yang kesetanan memaki-maki Tuhan. Hujan telah lama reda, dan pagi hari telah tiba. Putri Hita masih tetap di atas kudanya berputar mengitari kepala Bhagawan Dapunta yang di tutup kain gelap oleh seorang Pasukan Mahisasura agar tidak dilihat penghuni puri. Darah di tanah telah disapu air hujan, tidak ada suara amis selain bau kemuning dan melati yang mengembang menyambut pagi. Juga tidak ada Mayat tumenggung Kriya maupun tubuh Bhagawan yang malam setelah hujan reda langsung di bakar oleh pasukan Mahisasura di luar puri. Putri Hita masih berputar di atas punggung kuda mengitari kepala yang tertutup kain hitam. Menjelang senja, Putri Hita tergolek di atas punggung kudanya yang masih terus berputar mengelilingi kepala Bhagawan Dapunta. Mulutnya terus memanggil-manggil nama Tuhan. Langit mulai tampak gelap, dan Putri Hita masih tergolek di atas kudanya yang berjalan perlahan dan berputar mengitari kepala Bhagawan yang tertutup kain hitam. “Engkau sangat sabar, sungguh Engkau sangat sabar ya Tuhan, meskipun kekasihmu telah kubunuh, juga para pemujamu telah ku binasakan, tetapi Engkau tetap sabar”…… Lewat tengah malam, kuda sang Putri berhenti kelelahan, lapar dan segera meringkuk lemas. Sang Putri segera terjatuh dan terkulai dekat kepala yang tertutup kain hitam. Tangan Sang Putri meraih kepala Bhagawan, membuka kain penutupnya, memandanginya sesaat, “Engkau sangat sabar ya Tuhan, Engkau tidak marah kepadaku, aku telah kalah…aku gagal… aku tidak bisa membuatmu marah dan menunjukkan wajahmu kepadaku yang telah lama merindukan-Mu”, kemudian putri Hita menutup kain hitam dan tergolek tidak berdaya. Prajurit Mahisasura segera berlari mengangkat tubuh Sang Putri dan membawanya masuk ke perdauannya, diikuti para dayang yang segera membersihkan dan merawat sang Putri yang terkulai lemas. Menjelang pagi para dayang keluar dari bilik sang Putri, dan pintu bilik segera tertutup rapat. Tiga hari telah lewat, pintu bilik tetap tertutup rapat, tak seorangpun yang berani masuk, suara Dayang yang meminta ijin untuk mengantar makan juga tidak menadapatkan jawaban. **** T a m a t ****

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE