data-ad-format="auto"

ORIENTALISM: MELIHAT ASIA DARI BARAT

Oleh Sukma Ari Ragil Putri
FISIP UNTAG Surabaya



Orientalism bisa dikatakan sebagai sebuah konsep atau cabang ilmu yang mempelajari bagaimana budaya timur direpresentasikan oleh para ilmuwan dunia barat. Ilmu ini sudah ada sejak berabad-abad lalu, dimana para Orientalis yang pada waktu itu merupakan orang Eropa (ilmuwan yang mempelajari Orientalism) membagi dunia ini menjadi dua garis lurus, yaitu mereka yang dimaksud “The Orient” atau orang-orang Timur, dan sisanya termasuk ke dalam bangsa Eropa. Para orientalis ini kemudian mempelajari kehidupan orang-orang Timur dan menceritakannya kembali kepada orang-orang Eropa lain dalam bentuk karya sastra. Berdasarkan karya-karya tersebut maka muncullah stereotipisasi terhadap orang Timur oleh orang Barat.

Edward Said, seorang profesor berdarah Palestina-Amerika yang mulai mempertanyakan konsep Orientalism. Ia beranggapan bahwa Orientalism tak lebih dari sekedar usaha orang Barat untuk merendahkan persepsi dan penggambaran mengenai orang Timur, khususnya Timur Tengah, Asia, dan Afrika Utara. Said memulai asumsinya dengan mengatakan bahwa “The Orient” bukanlah suatu kealamian. Mereka tidak langung ada begitu saja sesuai dengan persepsi orang Barat. Menurutnya, karena manusia membuat sejarah mereka sendiri dan mereka membuatnya berdasarkan hal yang mereka tahu pada waktu itu, maka konsep “The Orient” dan “The West” yaitu konsep orang Timur dan orang Barat adalah buatan manusia juga. Oleh karena itu, sebagaimana konsep “The West”, konsep Orient yang mendasari orientalism pun adalah suatu gagasan yang memiliki sejarah dan tradisi pemikiran, citra, dan kosa kata yang telah diberikan dan ditanamkan realitas dan kehadirannya dalam dan untuk Barat. 

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Edward Said pun juga beranggapan bahwa para Orientalis membagi dunia ini menjadi dua bagian, “kita” dan “mereka”. Hal ini bisa dikaitkan dengan adanya kategorisasi dan oposisi biner oleh Levi-Strauss, yang mengungkapkan bahwa pembuatan kategori-kategori konseptual di dalam sebuah sistem merupakan hakikat pemahaman dan pada inti proses ini adalah struktur yang dinamakannya oposisi biner (binary opposition). 

Oposisi biner adalah sebuah sistem dari dua kategori yang berelasi, yang dalam bentuknya yang paling murni, membentuk keuniversalan. Menurutnya, dalam oposisi biner yang sempurna, segala sesuatu masuk dalam kategori A sekaligus kategori B, dengan memaksakan kategori-kategori tersebut kepada dunia, maka kita mulai mamahaminya. Dengan begitu kategori A tidak bisa eksis untuk dirinya sendiri, sebagai sebuah kategori hakiki, namun hanya dalam relasi terstruktur dengan kategori B: Kategori A bisa dipahami hanya karena kategori A bukan kategori B. 

Konstruksi oposisi biner merupakan proses memahami yang universal dan fundamental. Proses ini universal lantaran hal ini merupakan produk struktur fisik otak manusia, dan karena itu, spesifik pada spesies dan bukan pada suatu kebudayaan atau masyarakat. Otak bekerja secara elektrokimiawi dengan mengirimkan pesan-pesan di antara sel-sel otak, dan pesan-pesan yang dikirimkan hanyalah pesan biner sederhana ON/OFF.

Konsep ini juga digunakan oleh para Orientalis pada waktu itu yang membagi dunia hanya menjadi dua bagian dimana terdapat satu bagian yang dikategorikan sebagai “The East” yang mencakup Timur Tengah, Asia, dan sebagian Afrika Utara, lalu ada kategori “The West” yang dalam hal ini bisa dikatakan diwakili oleh bangsa Anglo-Saxon, yaitu Eropa yang kemudian pada saat ini diwakili oleh Eropa dan Amerika. 

Pengkategorian ini yang kemudian membuat para Orientalis ketika menyampaikan hasil observasi mereka mengenai orang Timur menjadi sedikit bias. Karena apa? Jadi ketika mereka bisa menyebutkan (sesuai stereotip yang berlaku saat ini di Barat) bahwa orang Timur adalah orang-orang yang malas, tidak beradab, barbar, lalu kemudian agama-agama tertentu diidentikkan dengan kegiatan negatif, seperti Islam identik dengan terorisme, maka dengan konsep oposisi biner tadi, otomatis orang-orang Barat adalah kebalikannya. barat identik dengan orang-orang pekerja keras, beradab, tahu tata krama, dan lain sebagainya. Hal inilah yang kemudian membuat media-media barat sering melakukan diskriminasi terhadap ras atau etnis orang-orang Timur. 

Diskriminasi Rat/ Etnis Timur di Media Barat 

Penyebaran konsep Orientalism dimana orang Barat melakukan perendahan persepsi dan menempelkan stereotip tertentu terhadap orang Timur bisa kita perhatikan di media-media yang diproduksi oleh Barat, khususnya film. Jika kita perhatikan dengan seksama, banyak sekali film-film produksi Hollywood yang memasukkan stereotip terhadap orang-orang Timur dalam filmnya. Bahkan dalam beberapa film orang-orang Timur dan stereotip mereka digunakan sebagai villain, penjahat atau si antagonis. Film Hollywood merupakan film yang penyebarannya paling luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, film Hollywood yang bisa digunakan sebagai media untuk membangun karakter maupun membunuh karakter suatu ras atau etnis. 

Stereotipisasi yang melekat pada orang Timur Tengah misalnya, mereka dianggap sebagai orang-orang yang barbar, tidak beradab, beragama Islam, dan merupakan teroris yang ingin menghancurkan dominasi Barat. Stereotip seperti ini muncul dalam beberapa film terkenal Hollywood sebut saja The Delta Force dan True Lies. Dalam film The Delta Force yang diproduksi pada tahun 1986 ini diceritakan si pemeran utama yang dipegang oleh Chuck Norris adalah seorang pasukan operasi militer khusus yang bertugas menyelamatkan para penumpang peswat yang dibajak oleh teroris-teroris Timur Tengah, dalam film ini disebutkan teroris Lebanon. Pada film ini digambarkan bagaimana sadisnya para teroris tersebut dalam memperlakukan tawanan di pesawat yang mayoritas adalah orang-orang Anglo-Saxon dan diceritakan berkebangsaan Amerika. Para teroris digambarkan tidak pandang bulu dalam memilih korbannya dan bisa membunuh begitu saja tanpa rasa bersalah. Senada dengan The Delta Force, film arahan sutradara James Cameron, True Lies, juga mengusung stereotip yang sama. Film yang dibintangi oleh Arnold Schwarzenegger ini menggunakan isu terorisme sebagai tema utamanya. Diceritakan bahwa Salim Abdul Aziz (nama yang sangat Timur Tengah) adalah teroris yang berasal dari Palestina dan merupakan sosok muslim ekstrimis yang menerapkan jihad dengan cara terlalu keras. 

Selain stereotip terhadap orang Timur Tengah dan Islam, juga terdapat beberapa stereotip mengenai orang Timur lainnya, yakni bangsa Cina. Dalam beberapa film digambarkan bangsa Cina terkenal dengan usaha penyelundupan barang-barang antik serta penyelundupan budak ke luar negeri khususnya Amerika Serikat dan Inggris. Tema ini diangkat dalam beberapa film seperti Premium Rush, Lethal Weapon 4, serta dalam salah satu episode serial andalan BBC, Sherlock, yang berjudul The Blind Banker. Dalam film-film tersebut digambarkan bagaimana bangsa Cina berusaha untuk pindah ke negara-negara Amerika Serikat maupun Inggris agar kehidupan mereka lebih baik daripada di negaranya sendiri. Mereka juga digambarkan selalu terlibat dengan kasus penyelundupan barang antik Cina dan penyelundupan budak yang dilakukan oleh bangsa Cina sendiri dibawah organisasi-organisasi tradisional Cina (mafia Cina). 

Selain diskriminasi dalam bentuk stereotip, diskriminasi mengenai etnis dan ras Timur juga dapat dilihat dari bagaimana Hollywood selalu memberikan peran utama kepada para Anglo-Saxon dan menjadikan orang-orang Timur sebagai pemeran pembantu karena dianggap tidak menjual. Kalaupun mereka dijadikan pemeran yang cukup penting, pastilah mereka dikategorikan sebagai sosok yang eksotis. Jadi misal dalam salah satu seri James Bond yang berjudul Tomorrow Never Dies yang menampilkan Bond Girl dari Asia yang diperankan oleh Michelle Yeoh, ia dianggap sangat menarik karena eksotisnya dia, karena dia berbeda dengan perempuan Inggris pada umumnya.

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE