data-ad-format="auto"

Bang-Bang Tut




 Oleh    : Rizky Angga N
FISIP Untag Surabaya


Bang-bang tut.
Abang selalu memintaku tampil sempurna. Sesempurna dewi-dewi yang tinggal di surga. Memangya aku ini dewi? Istri dewa. Aku hanya manusia biasa. Setiap hari aku harus bersolek ria supaya abang tak marah. Abang tak pernah suka malihat bibirku kering kehitaman. Abang lebih suka melihat bibirku merona tersapu gincu merah. Abang tak suka ada lemak berglantungan ditubuhku, berat badanku tak boleh lebih dari 50kg. Bila berat badanku lebih dari 50kg, abang takakan mau menyentuhku. Abang bilang ia tak mau bercinta dengan seekor babi. Aku harus rela berdiet ria yang menyiksa. Agar abang mencintaiku dan masih mau bercinta denganku.

Bang- bang tut
            Malam jum’at tiba. Abang ingin bercinta. Aku tak bisa menolaknya. Padahal aku sedang malas bercinta denganya. Badanku tersa remuk semua sehabis kerja. Abang tetap memaksa. Abang menyuruhku naik ke atas timbangan. Berat badanku 49kg. Hampir saja aku menjadi babi. Abang menyuruhku mengenakan stocking jaring berwarna hitam supaya aku terlihat sexy saat di ranjang. Sebagai istri yang baik tak boleh menolak perintah suami. Apa sih yang tidak buat abang!
 Abang kasar saat bermain cinta. Aku kesakitan setengah mati dibuatnya. Aku seperti bercinta dengan seekor beruang buas. Abang menarik tubuhku begitu keras hingga aku menjerit kesakitan. Abang menggigit putingku seperti mengunyah permen karet. Abang menggenjotku berjingkrak-jingkrak memperlakukanku bagai kuda tunggangan. Bukan nikmat yang kurasa Tulang-tulangku rasanya semakin remuk semua.
Abang tak pernah pengertian. Maunya menang sendiri. Baru 10 menit abang sudah loyo. Padahal Shella belum orgasme. Abang egois. Sekarang abang justru tidur mendengkur keras seperti tanpa dosa pada istrinya. Dengan kesal akupun mencoba ikut tidur. Tapi sulit, karena suara dengkuran abang sangat berisik.
Pukul 04:00 pagi aku sudah bangun. Pergi ke dapur memasak nasi, membuat gulai kambing kesukaan abang yang nantinya tak boleh aku makan. Membuat sayur bayam yang didalamnya aku campur dengan tahu, jamur, dan potongan jagung manis. Menggoreng tempe dan tahu. membuat sambal super pedas kesukaan abang. Semua itu untuk sarapan pagi. Selesai memasak aku mencuci kawanan baju kotor yang sudah menumpuk segudang. Selesai mencuci baju, sapu telah menungguku. Membersihkan rumah yang kusut semrawut bak kapal yang hancur di hantam ombak setinggi ratusan meter. Semuanya harus cepat kuselesaikan agar aku tak telat kerja.
             Pukul 70:30 semua pekerjaan sudah selesai. Aku selesai mandi. Abang masih tidur. Aku cobah bagunkan abang. Eh, si abang marah-marah, “Berisik, masih pagi kan...” Bentak abang. Aku kesal, kesal yang manusiawi. Si abang tetap tidur, sambil mendengkur lagi. Mendengkurnya keras sekali. Aku berpakaian rapi mengenakan kaos putih berkerah, di belakanya bertuliskan ‘Holland Bakrry’. Aku kerja hari ini.
            “Shella berangkat kerja dulu bang. Sarapanya sudah Shella siapin di meja makan.”
             Herkkkk-herkkkkk,  hanya dengkuran abang yang terdengar.
            Sebelum berangkat kerja sarapan pagi. Srapan pagi sendirian sendirian. Tanpa abang. Aku hanya makan sedikit nasi, banyak sayur bayam, dan satu buah apel. Setelah itu aku harus minum jamu sari rapet, galian singset dan segelas air putih. Aku ikhlas tersiksa demi abang.

Bang-bang tut
            Pulang kerja badan capek. Abang sedang nonton televisi. Abang minta dibuatkan kopi. Bang-bang tut, bang bang tut. Abang kentut seenaknya. Aku tak marah, hanya kesal yang kusimpan dalam hati. Aku membuatkan abang secangkir kopi. Dan ternyata?
            “Bang gulanya habis!”
            “kamu kan bisa beli di warung Shel.”
            “uangnya mana?”
            “ya pakek uang kamu. Abang kan gak kerja.”
            Kurang apa sih aku? Sebagai istri aku turuti perintah suami. Aku tak marah dengan perkataan abang. Aku hanya kesal. Kesal yang kusimpan dalam hati.
Bang-bang tut
Abang gak mau kerja. Abang selalu santai dirumah. Aku pernah bertanya, apa abang gak pengen cari kerja? Abang jawabnya sambil marah-marah. Katanya, “kerja. Pakailah otakmu, kamu pikir cari kerja gampang apa.”
 Aku bingung dengan abang. Aku yang tolol apa abang yang gak punya otak. Entahlah. Mungkin, abang di takdirkan bukan untuk mencari nafkah. Entah juga! Aku tak marah abang tak mau kerja. Aku hanya kesal, kesal yang kusimpan dalam hati.
Untung belum dikasih anak. Tapi aku takut, aku bukan takut hamil. Aku takut melahirkan. Bukan sakitnya yang aku takutkan. Aku takut tubuhku mengembang. Mengembang seperti babi sehabis melahirkan nanti. Lalu abang enggan bercinta denganku lagi. Abang bilang tak suka wanita bertubuh seperti babi. Sebenarnya aku juga tak suka lelaki. Lelaki seperti abang. Abang seperti celengan semar. Perut abang sangat buncit. Tapi aku suka abang, meski terpaksa. Karena abang suamiku. Aku tak pernah protes tantang celengan semar atau apalah yang berhubungan dengan kejelekan abang. Aku masih mau bercinta dengan abang kapanpun abang minta. Aku tak marah abang semakin tambun. Aku  hanya kesal, kesal yang kusimpan dalam hati.

            Dari tadi abang nonton televisi. Sambil menikmati secangkir kopi. Bola lagi, bola lagi. Kapan ngurusin istri. Aku harus mandi. Bersolek ria kembali. menyapu mukaku dengan bedak tebal agar terlihat putih. Mengoleskan gincu merah merona di bibirku. menyiapkan makan malam untuk abang tersayang. Kurang apa coba?
            Dari tadi kuhitung sudah 5 kali abang kentut. Kentutnya sebarangan lagi. Kurang 1 kali, kalau kentut lagi abang dapat mobil Mercy.
Hore. Makan malam ditemani suami. Abang makanya rakus. Nambah lagi samapai 2 kali. Hati-hati nanti perutnya pecah bang. Kalau pecah kan repot, gak ada tukang tambal perut disini. Apalagi tukang jual perut baru. Selesai makan abang kentut lagi. Lagi-lagi dalam hati. Aku tak marah. Aku hanya kesal. Aku tak boleh makan banyak setiap hari.
Aku pergi kekamar ganti baju dengan piama sexy, tanpa bra, tanpa celana dalam. Abang Shella lagi pengen ni. Shella pengen dimanja abang. Si abang gak datang-datang. Lagi asik nonton televisi. Dari tadi televisi, akunya kapan. Dasar suami. Maunya menang sendiri.
Eh, sudah pagi. Tadi malam gak jadi dimanja suami. `mau marah juga percuma. Abang sedang tertidur pulas. Sambil mendengkur lagi. Jadi istri abang kok begini. Minta ini gak boleh. Minta itu gak dikasih. Tapi istri tak boleh marah. Harus nurut sama suami. Aku gak marah, Cuma kesal kesal dalam hati. Lagi-lagi tabungan di hati.

Tanggal 28 februari. Waktunya bayar tagihan listrik. Gaji belum turun. Shella gak punya uang. Apalagi abang, yang gak kerja. Ngutang tetangga jadi solusi. Mudah-mudahan tetangga baik hati. Ekonomi-ekonomi. Masalah datang lagi. Abang sedang menikmati kopi. Sembari menonton televisi. Memangnya listrik gak bayar apa? Listik tidak mungkin keluar begitu saja dari perut abang yang bucit. Mau marah, tapi gak bisa. Bisa-bisa abang lebih murka. Abang kan gak mau kalah.
Tetangga, bantulah tetanggamu. Eh, tetangga gak mau bantu. Kalau gak mau bantu, ngak usa maki-maki juga. Aku kan ngutang baru sekali. Ini juga terpaksa. Ya sudalah.
Cari, solusi. Jual televisi. Jangan, nanti abang marah. Jual abang, mana ada yang mau. Jual anting mungkin bisa. Pasti bisa. Akirnya aku menjual anting satu-satunya. Anting terjual. Listrik terbayar. Telinga tanpa anting. Televisi masih bisa menyalah, kulkas masih bisa menyalah, lampu masih bisa menyalah. Tapi emosi takut menyalah. Sabar-sabar. Sadar. Abang gak mau kerja.

Bang-bang tut
            Kemarin tetangga pelit beli motor baru. Motor Mio matic warna biru. Bukanya iri, Sebagai manusia normal aku juga ingin punya motor. Aku pengen di bonceng abang pakai motor. Jalan-jalan ke kenjeran sama abang pakai motor. Pergi makan tahu tek di wonokromo pakai motor. Diantar abang ke tempat kerja pakai motor. Tapi abang bangunya siang. Masih manusiawikan keinginan istri. Tapi mau apa lagi. Apa daya tanggan abang tak sampai kerja. Uang dari mana buat beli motor. Ekonomi, lagi-lagi ekonomi. Harus gigit jari lagi.
Bang-bang tut
            Malam ini aku tak bisa bersolek ria. Abang bedak dan lipstik Shella habis. Terus mau bagaimana lagi. Lagi gak punya uang. Si abang merungut dari tadi. Hanya diam tak mau bicara. Mungkin abang sedang sakit gigi, atau bisu hari ini.
            “Abang mau kemana?’’ tanyaku.
            Bruuak, Suara pintu yang menjawab.
             Si abang pergi. Tanpa permisi kepadaku. Entah kemana. Mungkin ke dokter gigi. Mungkin! Sudah berapa kesal kusimpan dalam hati. Mungkin 100 biji kesal. Bahkan lebih. Aku tak marah. Hanya kesal, Kesal yang kusimpan dihati.
            Malam semakin larut. Abang belum juga pulang. Mungkin besok pagi abang pulang. Malam ini aku tidur sendirian. tanpa abang di sampingku, tanpa dengkuran berisik di telingaku, tanpa suara kentut tiba-tiba yang sering  mengagetkanku.
            Pagi lagi, pagi lagi. Lihat ke samping ranjang abang belum pulang. Ke mana abang pergi? Tidak mungkin ke dokter gigi. Minum air putih supaya emosi tak mendidih. Ah, tetap saja. Aku semakin emosi. Tak terkendali.
                        Pergi ke dapur cari pisau. Pergi ke gudang cari martil dan cari tang. Ketemu semua, tinggal tunggu abang pulang di depan di depan pintu. Lama juga abang belum datang. Batang hidungya tak kunjung terlihat. Kudengar suara detak jarum jam yang berputar, ‘tek, tek, tek, tek...’ tak lama kemudian kulihat abang jalan sempoyongan. Kenapa si abang? Pasti habis mabuk-mabukan.
                        “Pagi abang.”
                        “Shella!”
                        Tanpa pikir panjang kutikam jantung abang dengan belati. Kucabut lagi belati itu dan kutikamkan lagi, berulang kali. Darah segar mengucur dilantai. Tak puas ku getok kepala abang dengan martil. Mungin saja ada yang salah dengan otak abang. Ku getok lagi, lagi dan lagi. Abang jatuh tersungkur. Kuseret ia masuk kedalam kamar. “hahahaha....” abang tak berdaya sekarang. kucabuti gigi-gigi kuning abang dengan tang. Abang terlihat lebih tampan tanpa gigi. Ku keluarkan isi perut abang, lambung, usus, ginjal. Kubuang semuanya isi perutnya kedalam kloset tempat buang kotoran. Abang terlihat lebih macho sekarang.  kasihan abang. Mati masuk neraka sekarang.
                          “hahahahaha, Shella cinta abang Jaya.”




Surabaya, 16 April 2013

Pernah dimuat di "Kumpulan cerpen pilihan UNSA 2014"

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE