Oleh
Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag Surabaya
FISIP Untag Surabaya
Persoalan
Koperasi di Indonesia, dari masa ke masa, masih tetap klise. Berkisar pada masalah
ketidakberdayaan koperasi sebagai nilai yang masih belum melembaga di
masyarakat. Koperasi kita terlilit oleh ketidakberdayaan sebagai sebuah ideologi. Hingga kini ia tidak juga mengintegral pada setiap individu warga negara. Praktis tak ada internalisasi isme kekoperasian di sana. Malahan, justeru ia sekarang terperangkap di tiang pancang slogan besar-besar, padahal di dalamnya mengandung ketidakberdayaan koperasi itu sendiri hadapi jargonnya: sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. Megah memang! Hanya saja, sayangnya, koperasi sebagai
organisasi usaha, ternyata dalam hal profesionalisme manajerial, masih jauh tertinggal dari
badan-badan usaha yang lain.
Di kalangan
anak muda sendiri, khususnya usia sekolah dan usia mahasiswa, koperasi sebagai
sebuah “label” juga tidak kunjung memperoleh tempat di hati mereka. Hati anak-anak generasi muda ini sudah terlanjur diraih oleh barat.
Lalu, di mana salahnya koperasi? atau lebih tepatnya 'salah kita' ?
Banyak penyebab yang bisa kita tuding sebagai kambing hitam di sana. Di antara faktor-faktor itu adalah dikarenakan koperasi masih belum dapat membranding dirinya. Sebuah brand yang
diharapkan menjadi ikon sekaligus lambang prestisius yang membanggakan bagi
siapa saja yang mengenakan label koperasi tersebut. Tak terkecuali juga mereka atau pun kita yang kadang sok kebarat-baratan. Gengsi turun jika mengenakan label koperasi.
Mengapa orang kita enggan distempel jidatnya dengan logo koperasi? atau kikuk jika ketahuan sebagai orangnya koperasi? Agaknya wajar jika orang kita menjadi begitu alergi pada tetek-bengek hal yang berbau koperasi, karena memang berdasarkan kesejarahannya, koperasi di Indonesia tidak luput dari pengaruh stigma 'mental bawah'. Sebab asal usul berdirinya koperasi di Indonesia memang awalnya didirikan oleh orang-orang lemah, orang dari golongan atau klas gedibal. Para pegawai rendahan yang terhimpit hidupnya karena terjerat rentenir/lintah darat lah yang membidani jabang bayi koperasi di Indonesia. Koperasi ditelisik dari hikayatnya, juga berdiri karena andil-andil para petani kecil yang tidak pernah sejahtera, akibat terperangkap sistem ijon oleh tengkulak-tengkulak yang masuk ke daerah pertanian. Dari keinginan untuk memperbaiki nasib mereka itulah lalu berdiri sebuah organisasi usaha bersama yang akhirnya menjadi koperasi.
Karenanya, jamak lumrah apabila hari ini, banyak orang yang masih memandang minus dengan kata atau istilah ‘koperasi’.
Karenanya, jamak lumrah apabila hari ini, banyak orang yang masih memandang minus dengan kata atau istilah ‘koperasi’.
Koperasi
dikonotasikan dengan sesuatu yang sudah kuno, tertinggal, bodoh, miskin, lemah,
lamban, dan tidak profesional. Bahkan, bagi ibu-ibu rumah tangga, untuk mengakui saja, bahwa
mereka habis melakukan transaksi di koperasi saja, mereka malu. Mereka akan lebih
bangga jika mengaku telah bertransaksi di Mall, rasanya lebih bergengsi, dan keren ketimbang transaksi di koperasi. Hal ini disebabkan karena terdapat anggapan yang berkembang di
masyarakat kita, bahwa melakukan transaksi di koperasi sama dengan utang. Tentu
saja kita tidak siap secara mental dikata-katai sebagai orang yang ber-utang, atau si tukang utang!
Ini
merupakan ironi bagi bangsa Indonesia, di satu sisi Konstitusi mengamanatkan
pada negara, juga kepada kita, untuk membangun konstruksi ekonomi nasional dengan
cara menyusunnya dari usaha-usaha bersama, gotong royong dan kekeluargaan,
namun di sisi lain, ideologi sosialisme kita yaitu koperasi, tidak kunjung
mengintegral pada diri kita bahkan kita lebih memuja pada cara-cara ekonomi
liberal, atau cara-cara ekonomi privat yang nota bene hanya berorientasi pada
profite benefide semata.
Akhirnya
koperasi Indonesia tidak pernah dapat berkembang menjadi usaha besar yang
bersekala makro, bahkan Internasional. Dan muaranya dapat ditebak, koperasi kita tak ubahnya hanyalah
sebagai kepanjangan tangan dari ekonomi liberal, sebagai misal: banyak
produk-produk yang dijual oleh koperasi bukanlah merupakan made in koperasi,
namun justeru produk tersebut dibuat oleh badan usaha liberal/privat lalu
koperasi menjadi “kacung-kacung marketing” untuk memasarkan komoditi tersebut pada masyarakat kita.
Pun
demikian halnya dengan sektor keuangan, koperasi kerap kali menjadi kaki-tangan
dari perbankan guna memutar uangnya. Memang tidak ada larangan untuk itu,
tetapi hal demikian dapat dinilai sebagai mengebiri potensi diri dengan cara
membantu membesarkan ekonomi privat/liberal. Sungguh tidak elok. Hari ini kita
menyaksikan koperasi Indonesia berada dalam kepungan badan-badan usaha privat
dan usaha liberal dari segala penjuru. Segala kepungan ini meliputi sektor-sektor mulai dari sektor produksi, sektor distribusi, hingga sektor konsumsi. Juga sektor modal.
Mengapa kondisi
demikian bisa terjadi? Ada yang bilang ini karena Negara yang seharusnya menjadi agen kemakmuran
rakyat secara konstitusional, namun secara praktik penyelenggaraan, justeru menjadi ambigu. Negara terjebak dengan dua jalan atau fungsi gandanya: di satu sisi harus
melaksanakan konstitusi pasal 33 UUD 1945 dan Sila ke 5 Pancasila, namun di
sisi lain, negara juga terpaksa harus melaksanakan undang-undang yang bersifat
ekonomi liberal. Undang-undang yang diproduksi oleh kekuatan-kekuatan politik
di parlemen semenjak Rezim Orde Baru dan dilanjutkan oleh Rezim Reformasi, serta sekarang lebih diperparah oleh Rezim Free Market yang sedang berkuasa, hal mana dibelakangnya terdapat banyak kepentingan-kepentingan
kapital berkelas Internasional.
Pada titik ini negara harus memilih, ia lebih berpihak ke mana? Dan kita tahu, sekarang negara (atau rezim berkuasa) cenderung memihak ke mana.
Pada titik ini negara harus memilih, ia lebih berpihak ke mana? Dan kita tahu, sekarang negara (atau rezim berkuasa) cenderung memihak ke mana.
Peran
negara yang baik, dan sesuai amanat konstitusi, dapat dilihat dari perilaku penguasa rezimnya,
jika pengusa rezim tersebut lebih memihak pada badan-badan usaha bersama, konsisten dengan
BUMN, serta membiarkan badan-badan usaha privat ataupun liberal untuk berkompetisi di arena non hajat hidup orang banyak, sebagaimana
adanya, maka negara tersebut boleh dikatakan sebagai negara yang baik kepada
kemakmuran rakyat, kepada koperasi, kepada ekonomi kerakyatan. Tetapi apabila yang terjadi dari perilaku penguasa rezim adalah sebaliknya, maka pupuslah harapan kita atas peran negara di
dalam melindungi segenap tumpah darah yang di dalamnya termasuk perlindungan
atas perekonomian nasional.
Jika
demikian yang terjadi, maka satu-satunya harapan, sekaligus benteng terakhir, dan penyelamat bagi ekonomi kerakyatan, ataupun bagi ekonomi koperasi, adalah terletak pada
perguruan tinggi. Mahasiswa selaku agen perubahan sosial, di dalam kampus telah
dicerahkan pemikiran, sikap dan mentalnya akan mampu melahirkan satu level generasi
hasil tempaan, calon-calon kader yang ideologis dan militan terhadap spirit
koperasi.
Dari
sanalah harapan bersama bisa dimulai, bahwa koperasi akan mampu membranding dirinya sehingga menjadi kebanggaan masyarakat. Gerakan koperasi mahasiswa ini niscaya akan berdampak ikutan pada generasi baru mahasiswa berikutnya dan selanjutnya nanti akan ditindaklanjuti secara sustainable setelah alih generasi dan seterusnya. Karena mahasiswa adalah 'model', atau 'idol', maka ia merupakan representasi dari modernitas manusia muda Indonesia. Jika koperasi
berhasil menjadi ideologi anak-anak pewaris ini, dan menjadi sikap mental serta cara hidup berekonomi mereka, maka masyarakat akan mengikuti dengan sendirinya. Sehingga pada akhirnya, koperasi tidak akan sekedar menjadi badan
usaha yang remeh, sepele dan dipandang sebelah mata.
Hingga tiba masanya nanti, koperasi akan mampu menguasai semua cabang produksi, mulai dari hulu sampai ke hilir,
mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi. Koperasi yang sekaliber dan
sejajar dengan usaha-usaha multy national, multy corporate. Bahkan Go Internasional dan tak bakal mundur bertarung melawan kartel-kartel berkelas internasional di pasar dunia sekalipun.
Tapi semuanya itu butuh tahap, butuh proses, butuh waktu, karenanya untuk sekarang ini, di tangan mahasiswalah Koperasi
diharapkan menjadi usaha bersama yang mampu go nasional, terlebih dulu, lalu Go regional. Sehingga dengan tegap kita sebagai bangsa mampu menyapa para
kompetiter antar bangsa: Selamat datang MEA, Apa kabarmu? Perkenalkan nama saya
KOPERASI INDONESIA.
0 wicara:
Posting Komentar