data-ad-format="auto"

Pemuda Melawan Radikalisme Global
















oleh : M. Roisul Basyar

Kebanyakan orang mengartikan kebudayaan adalah hasil seni keindahan, warisan leluhur, tari-tarian, musik, bahasa, kebiasaan (folkways) yang dilakukan suatu daerah, dan lain-lain. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran E.B. Taylor (Pelly&Menanti, 1994: 23)  menyatakan bahwa kebudayaan itu adalah seluruh yang kompleks, didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat[1].
Terdapat 3 (tiga) perwujudan budaya antara lain: pertama adalah perwujudan ideal kebudayaan yang berfungsi untuk mengatur. Dalam bentuk jamak kebudayaan ideal disebut sebagai tata kelakuan. kedua adalah kebudayaan sering disebut sebagai sistem sosial. Dan yang ketiga adalah kebudayaan disebut sebagai kebudayaan fisik (Pelly et al., 1994: 25-26)[2].
Dalam konteks perwujudan budaya yang berfungsi mengatur dan  sistem sosial. bebarapa tahun belakangan ini perubahannya cukup nampak dan secara sadar bisa dirasakan oleh masyarakat, Sebagai contoh adalah berkurangnya nilai cinta akan budaya lokalnya dan mulai  pudarnya nilai-nilai saling bertoleransi dan kebuduyaan lokal. Banyak contoh kasus yang bisa kita temui sehari – hari seperti banyak pemuda yang gengsi  untuk melestarikan dengan kebudaayan daerahnya dan mulai meninggalkan nilai – niali luhur kebudayaan setempat[3]. bahkan cukup hangat di telinga kita adalah terjadinya pengeboman di tamrin beberapa saat yang lalu, yang sayangnya pelakunya adalah warga negara indonesia sendiri[4]. Tindakan itu merupakan tindakan yang sangat ekstrim  dan radikal bagi kebudayaan indonesia. Kalau kita amati dengan kacamata kebudayaan, tidak ada kebudayaan daerah manapun di indonesia yang mengajarkan radilkalisasi pemberontakan dengan  melakukan pengeboman semacam itu. pola perilaku itu muncul akibat pengaruh budaya  luar. Seperti kelompok-klompok radikal semacam ISIS dan lain sebagainya, guna melaksanakan kepentingannya, pada akhirnya  membuat kacau tatanan sosial masyarakat indonesia, bahakan dunia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya terror yang dilakukan oleh kelompok radikal, seperti penyerangan di paris pada beberapa saat lalu, menyebabkan banyak korban jiwa melayang dan heboh dunia dan sampai akhirnya Presiden Prancis Francois Hollande mengumumkan peringatan tiga hari berkabung nasional setelah peristiwa tersebut[5]. Hal ini memperlihatkan bahwa permaslahan tentang kelompok radikal merupakan permaslahan global[6].
Kelompok radikal adalah kelompok yang menganut paham radikal/radikalisme. Istilah  radikalisme sendiri  berasal  dari  bahasa  Latin  “radix”  yang  artinya  akar, pangkal,  bagian  bawah,  atau  bisa  juga  berarti  menyeluruh,  habis-habisan  dan amat keras untuk menuntut perubahan. menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) radikalisme berarti: (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham  atau  aliran  yang menginginkan  perubahan  atau  pembaharuan  sosial  dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik[7].
            Dan akar permasalahan radikalisme Menurut Khaled Abou alFadl (2005) adalah puritanisme Yaitu kecenderungan pemahaman yang tertutup dan mencerminkan karakter yang absolutis serta tidak mau berkompromi dengan pemikiran atau tafsir lain dalam memahami agama. Ia juga mengabaikan kontekstualitas dan bersikap anti lokalitas sehingga pembawa paham demikian selalu memaksakan kebenaran tunggal baik terhadap tafsir keagamaam maupun terhadap sistem sosial dan politik atau pemerintahan. Maka menjadi sesuatu hal yang sangat kontradiksi jika kita melihat realitas hari ini, yang melihatkan bahwa indonesia adalah negara majemuk yang memiliki banyak suku dan budaya. Tiap daerah bahkan memiliki adat dan kearifan sendiri dan saling menghargai satu sama lain. Memang jika kita melihat kembali permasalahan dari kelompok radikal ini seharusnya bisa di tangkal dengan kebudayaan tiap dareh masing – masing, yang jika di jalankan pasti mampu menangkal pengaruh dari penyebaran radikalisme tersebut. Namun permasalahan hari ini sesungguhnya ialah hampir di setiap daerah di indonesia mengalami kemunduran dalam melaksanakan kebudayaannya. Hal ini bisa kita lihat bahwa semakin tahun masyarakat semakin terbawa arus globalisasi yang terkadang membawa dampak negatif untuk tatanan masyarakat sendiri. Termasuk munculnya kelompok radikal semacam ISIS dan lain sebagainya, merupakan fenomena yang terjadi akibat adanya globalisasi. Kebudayaan daerah yang perlahan mulai hilang di makan zaman, bahkan masyarakat terkadang tidak mengatahui apa saja sesungguhnya kebudayaan di daeranya sendiri. Maka disinilah eksistensi kebudayaan daerah yang seharusnya mampu menangkal radikalisme menjadi lemah. Diperparah lagi dengan relitas pemuda indonesia yang terkadang malu dengan budaya daerahnya sendiri, mereka lebih bangga dengan budaya asing yang masuk, melalaui media massa dan sebagainya[8]. Padahal pemuda adalah harapan daerah yang akan menjaga eksistensi kebudayaan dan menjaga kearifan lokal. .
            Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Pol Drs. H. Hamidin yang menyatakan bahwa Paham radikal terorisme telah menjalar di berbagai lini kehidupan masyarakat,  ideologi ini bahkan sangat rentan masuk dan menyebar melalui rumah ibadah, lembaga pendidikan keagamaan, kampus dan sekolah, yang menjadi sarana pencerahan dan pendidikan karakter bangsa. Perekrutan pemuda dengan memanfaatkan sarana pendidikan menjadi salah satu modus dari kelompok radikal terorisme untuk meregenerasi dirinya. Selain itu, lemahnya semangat kebangsaan, pemahaman ajaran agama yang fanatis-sempit, melemahnya implementasi pendidikan kewarganegaraan dan tergerusnya nilai kearifan lokal menjadi faktor pendorong rentannya masyarakat kita terhadap pengaruh radikal terorisme[9].
 Berangkat dari permasalahan tersebut, dalam kesempatan kali ini penulis akan mencoba membahas bagaimana mengeksistensikan  kembali kebudayaan daerah untuk menghadang penyebaran paham radikal yang dilakukan oleh kelompok radikal global. Dan dalam proses ini akan di motori oleh pemuda daerah.
            Sebuah konsep yang di berikan oleh ThomasReuter (2013) akan penulis kembangkan untuk menangkal radikalisme dengan pendekatan lokal,  Thomas Reuter menyebutnya sebagai arus revitalisasi tradisi sebagai cara untuk menanggapi radikalisme secara dialogis dan absorbsi. Reuter menunjukkan,setidaknya di Asia, bahwa sebagai respon terhadap globalisasi dengan kerusakan lingkungan, penguasaan sumberdaya alam dan radikalisme agama muncul gerakan revitalisasi tradisi dan agama yang bersifat lokal, tetapi memiliki akar tradisi yang kuat serta membangun suatu tradisi harmoni yang baru. Hanya saja gerakan ini masih lebih lemah dibandingkan dengan arus kerusakan lingkungan, penguasaan sumberdaya alam dan radikalisme agama[10].
            Maka salah satu strategi yang penting untuk mencegah menguatnya  radikalisme adalah memperkuat dan menghidupkan kembali tradisi lokal dan memunculkan kembali local knowledge. Dakwah dan misi agama kini cenderung memberi peluang terlalu besar bagi pengetahuan yang berasal dari luar, dengan mengabaikan pengetahuaan lokal dan tradisi masyarakat.. Masuknya pandangan dan tafsir-tafsir baru agama atau pengetahuan dari luar itu sendiri sesungguhnya sudah sejak lama terjadi. Namun, di masa lalu, setiap pandangan dan tafsir baru tersebut harus terlebih dahulu dipergulatkan dan didialogkan dengan tradisi masyarakat untuk terjadinya akulturasi atau revitalisasi. Sedangkan kini, dengan kemajuan teknologi informasi, apalagi didukung oleh suatu peraturan dan pemerintahan yang terlalu terbuka, orang bisa memaksakan pandangan-pandangan dan tafsir-tafsir baru tersebut kepada masyarakat dengan alat dan teknologi informasi modern tanpa menghiraukan reaksi dan kerugian masyarakat setempat.
Gerakan revitalisasi tradisi yang disebut Reuter tersebut juga merupakan wajah baru dari cara tradisi lokal merespon terhadap pengaruh luar. Di masa lalu, respon itu lebih bersifat defensif atau resisten (resistance),sejauh mungkin menolak atau menerima secara selektif. Namun kini proses itu lebih terbuka, di samping mencoba memberi makna baru terhadap pengaruh luar secara kreatif, juga disertai dengan pemaknaan kembali tradisi dan ritual lokal secara baru dan kontekstual, sehubungan dengan masuknya pengaruh baru tersebut secara dialogis dan absorbsi. Revitalisasi tradisi dan ritual lokal yang melibatkan masyarakat seluas mungkin dengan pemaknaan yang baru tersebut menjadi kunci kembalinya semangat toleran dan dialog.
Maka beberapa strategi yang bisa dilakukan oleh pemuda adalah: 
            Pertama, adalah pemuda agar menghidupkan kembali lembaga-lembaga masyarakat, ritual yang bersifat lokal dan memiliki akar budaya yang kuat di dalam masyarakat. Langkah ini disamping untuk memperkuat tali budaya bersama juga untuk menghidupkankembali “modal sosial” dalam masyarakat, yaitu tumbuhnya saling percaya (trust) di dalam masyarakat dan mekanisme sosial yang berbuah sangsi bagi orang yang melanggar tradisi tersebut. Dengan demikian, tradisi yang hidup di dalam masyarakat memiliki kontrol yang kuat terhadap perubahan-perubahan yang justeru datangnya dari luar. Bukan sebaliknya seperti sekarang, justru kebudayaan dari luar mengontrol tradisi dan bahkan hendak menghilangkannya.  
            Dalam karakternya diIndonesia,  tradisi dan ritual lokal selalu mengandung toleransi yang tinggi terhadap pemahaman lain, termasuk ide-ide dan pemahaman baru yang datang dari luar. Berbagai kajian tentang keagamaan di nusantara menunjukkan lenturnya hubungan agama atau keyakinan dengan agama-agama lain yang datang dari luar nusantara. Hal ini terjadi berkat kearifan dari para pemimpin masyarakat dan pemimpin agama yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Maka pendidikan agama di dalam perguruan tinggi agama sekalipun, seharusnya tidak hanya belajar tentang ilmu pengetahuan yang bersifat akademik, tetapi penting untuk memperkenalkan mereka tentang kearifan lokal dan cara kerja paratokohnya yang hidup di dalam masyarakat secara langsung (organik). Lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi, penting untuk mengambil peran memediasi antara dunia akademik dan dunia nyata dalam masyarakat. dan dalam waktu yang sama memediasi antara pandangan-pandangan baru dari luar dengan masyarakat luas melalui para tokoh organik tersebut.
            Kedua, pemuda daerah hendaknya membuat sebuah kegiatan yang mempelibatkan paratokoh agama dan tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh luas di wilayah lokal itu sendiri dalam proses pendidikan secara langsung, baik itu berupa seminar atau diskusi umum. Meskipun mungkin kemampuan mereka secara akademik rendah, tetapi mereka memiliki pengalaman dan kearifan yang tidak terdapat dalam kandungan akademik. Pengetahuan tentang kearifan lokal atau local knowledge selayaknya masuk dalam kurikulum di setiap sekolah agama. Karena peserta didik diproyeksikan bukan hanya sebagai pemikir dan analis melainkan juga sebagai pemuka dan tokoh dalam masyarakat nantinya.
            Ketiga, inovasi dalam kebudayaan daerahnya. Sebagai contoh adalah pengembangan inovasi dengan wayang, dalam sejarahnya wayang digunakan oleh wali songo  untuk berdakwah menyebarkan agama islam. Hal ini membuktikan bahwa para ulama dahulu menyebarkan Islam tidak melalui radikalisasi, namum melalui budaya lokal. Maka berangakat dari sejarah tersebut pengembangan wayang hendaknya disesuaikan dengan zaman. Dalang Ki Anom Dwi Jokangko dari Trenggalek, Jawa Timur mengatakan bahwa peran seorang dalang dalam pertunjukan Wayang Kulit sangat penting.“Dalang harus bisa membaca situasi apakah penonton bosan, mengantuk, dan serta bagaimana menyampaikan pesan-pesan termasuk menangkal radikalisme, ini tidak mudah,” dan juga beliau menjelaskan bahwa cerita wayang untuk orang dewasa dan anak-anak harus berbeda penyampaiannya, meskipun tujuannya sama.“Dalang juga harus menguasai isi cerita dan siap untuk meluaskan cerita jika diperlukan[11]. Maka disini pemuda harus melestarikan wayang dengan memberikan inovasi dari penampilannya agar di sukai oleh masyarakat. Karena Dalang dalam wayang masing jarang yang mampu membaca situasi penonton atau keinginan masyarakat maka pemuda daerah tersebut harusnya ikut terjun dalam seni pagelaran wayang. Dikarenakan Pemuda memiliki pengetahuan yang lebih tentang apa yang di inginkan oleh masyarkat termasuk kaum muda sendiri dibandingkan dengan kaum tua.
            Permasalahan tentang radikalisasi merupakan sebuh isu global kerena melihat dampaknya yang membuat kehawatian global. Radikalisasi sudah masuk di indonesia dengan di buktikan adanya aktis teror semacam tragedi Tamrin belakangan ini. Permasalahan ini sebenarnya bisa dicegah dengan menggunakan pendekatan lokal melalui kebudayyan daerahnya. Namun kebudyaan daerah yang tadinya mampu untuk menangkal radikalisasi menjadi lemah bahkan takberdaya dikarenakan masyarakat sudah tidak menjalankan lagi kebudayaan tersebut, selian itu masyarakat sangat terbuka dengan berbagai budaya yang masuk dari luar. permasalahan ini mengakibatkan masuknya juga paham radikalisasi dengan mudah di masyarakat.
             Maka sudah saatnya pemuda mempelopori pelestarian budaya lokal yang telah lama di tinggalkan seperti menghidupkan kembali lembaga- lembaga masyarakat dan budaya lokal  untuk menghidupkankembali “modal sosial” dalam masyarakat, membuat kegiatan yang melibatkan tokoh agama, pelestarian wayang dengan pengembangan di dalam pertunjukannya.  Dari tiga strategi tersebut permasalahan radikalisasi di indonesia tentunya akan mampu diatasi, selain itu pemuda akan ikut andil dalam pelestarian kebudayaan daerah yang telah di tinggalkan.
Daftar pustaka
 Suaedy Ahmad, “Menangkal Radikaliasai dengan Pendektan Lokal” Koordinator AbdurrahmanWahid Centre for Inter-Faith Dialogue and Peace-Universitas Indonesia (AWCentre-UI) http://www.gusdurian.net/id/article/headline/Menangkal-Radikalisme-dengan-Pendekatan-Loka
Nafi’ah Afidatus, Budaya, Globalisasi dan Kaitannya Dengan Masyarakat” Jurusan Kurikulum Dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang http://jurnalilmiahtp.blogspot.co.id/2013/11/budaya-globalisasi-dan-kaitannya-dengan.html





[1] http://jurnalilmiahtp.blogspot.co.id/2013/11/budaya-globalisasi-dan-kaitannya-dengan.html
[2] Ibid
[3] http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20121116122140
[4] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/01/14/o0xx50219-polisi-sebut-lima-pelaku-pengeboman-semuanya-wni
[5] http://www.merdeka.com/dunia/berkabung-atas-teror-paris-kedubes-prancis-di-ri-tutup-3-hari.html

[7] KBBI Online
[8] http://kucingkring.blogspot.co.id/2013/01/pengaruh-budaya-asing-masuk-ke-indonesia.html
[9] https://damailahindonesiaku.com/brigjen-pol-hamidin-terorisme-adalah-isu-global.html
[10] http://www.gusdurian.net/id/article/headline/Menangkal-Radikalisme-dengan-Pendekatan-Lokal/
[11] http://www.benarnews.org/indonesian/berita/wayang-untuk-menangkal-radikalisme-06052015175602.html

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE