Mau jadi apa?
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari seorang tua, yang kami (atau saya) anggap terlalu uzur untuk menyaingi semangat anak muda. Tapi apa nanya, semangatnya kadang lebih digdaya dari pada lingkungannya.
Ya, kalimat tanya itu dia keluarkan (entah disengaja atau tidak)
ketika kami tengah antusias belajar memainkan biola. Siapa yang tidak tergoda oleh eksotisnya suara gesekan dari alat music klasik itu?!
Bukan, “mau jadi apa?”, bukanlah kalimat sinis seperti yang
digambarkan Ferdinand de Saussure. Lebih kepada apresiasi dari antusiasme kami dalam
mempelajari berbagai hal. Tanpa terikat waktu, tempat. Karena kami sepakat
tidak akan sudi untuk terikat pada apa pun. Tapi bukan berarti kami mengabaikan
super ego-nya Sigmund Freud.
Anggap saja sesuatu yang klasikal, pembatasan, dan model belajar keranjang arsip, bukan bagian dari kami.
Anggap saja sesuatu yang klasikal, pembatasan, dan model belajar keranjang arsip, bukan bagian dari kami.
Kami? Ya, Tik Tok adalah bagiannya. Hampir setiap malam
mereka berdiksusi di bawah pohon (kelak, tempat itu dikenal dengan forum
sawo) dengan bagian kami lainnya.
Tok? Dia bukannya bukan siapa-siapa. Dia adalah siapa saja, apa saja. Bukankah bukan siapa-siapa dan siapa saja itu berbeda?
Terkadang, dia layaknya pujangga yang senantiasa melantunkan syair puja-puji kepada seorang gadis. Suatu waktu dialah perwujudan salam-sapa tetangga kos-kosan. Dan di tempat lain, dialah jaring gawang tempat si perantau meratapi kehidupan.
Dan Tik? Dialah misteri sebenarnya.
Lalu, mau jadi apa? Biarlah sejarah yang menjawab.
Layaknya pemahaman
sang filsuf dulu, “kami adalah kumpulan informasi, data, peristiwa, pengalaman
dan segala macam.” Untuk sementara, Tik Tok yang mengambil peran.
se-MAU-nya.
Sekarang TIK TOK mau belajar biola
Sekarang TIK TOK mau belajar biola
3 wicara:
Hahahha....
yang merasa tua,,
lewat broo....
Posting Komentar