Oleh: Nanik Zuroidah
Hamparan bumi pedesaan yang menghijau itulah menjadi saksi bisu sebuah perjalanan kehidupan seorang anak manusia.
Permai dibentang luas sawah dan ladang yang membuat mata siapapun akan terbelalak takjub karena keindahannya. Hamparan warna hijau segar yang mendayu-dayu karena tiupan angin pagi hari. Kedamaian yang dibuai oleh indahnya alam yang bersahaja.
Hatikupun tertawa riang saat bertemu dengan suasana masyarakat sederhana yang penuh dengan sopan santun dan budi bahasa itu, Rasanya keinginanku hanya satu: "KU INGIN MENJADI SANTRI YANG SEJATI".
Betapa tidak, menjadi santri adalah kebahagiaan tersendiri untuk masa remajaku.
Kita adalah para santri dari berbagai macam kalangan, mulai dari anak seorang petani, pedagang, pengusaha, sampai anak para pejabat semua berbaur menjadi satu dengan makanan yang sama, tempat tidur yang sama, kamar mandi yang sama dan bahkan semuanya serba sama.
Dari waktu subuh aktivitas kami sudah diawali dengan suguhan Kitab kuning "Tafsir Jalalain" sementara kita masih dalam rasa kantuk yang mendera, tapi itu semua bisa sedikit kita senyembunyikan mata kantuk kami. Rasa lelah dan kantuk akibat sisa-sisa dari aktifitas malam hari kemarinnya, mulai dari Khitobiyah, latihan Qiro'ah, Bersholawat di malam jum'at, dan diakhiri dengan ngaji bareng Kyai dengan "Tafsir Munir" sehingga kitab tafsiran ku pun penuh dengan coretan, karena pada saat memberikn makna di kitab gundul ku itu, dilakukan sambil menahan rasa ngantuk yang luar biasa, dengan kepala yang sedikit-sedikit menunduk atau lebih tepatnya terantuk-antuk. Jika ingat sungguh lucu kala itu.
Kecapekan tapi menyenangkan sekaligus jadi satu. Sementara pagi hari sebelm waktu subuh tiba, kami harus berebut bahkan mengantre seperti semut berbaris. Hanya untuk bisa masuk ke kamar mandi, Tak pelak, kamar mandi pun bak loket pembayaran SPP di kampus tercintaku Untag Surabaya,
Yaa... antrian panjang terjadi di setiap pagi menjadi semacam rutinitas kami,
Malah sampai sekarang yang masih menggelikan jika mengingat peristiwa pagi itu, adalah seringnya terdengar teriakan-teriakan dari para sanri,
"Ukhti ba'daki man?!" berkali-kali suara lantang bernada tanya seperti itu terdengar. Dan jawabannya selalu beragam. Ada yang jawab: "Maujud insan ba'di, maa fiih," ada juga yang berkata "Tafaddhol udkhul al'an faqot." Ah, sungguh lucu juga seru pengalaman itu.
Semoga semua menjadi berkah kehidupan dan bermanfaat. Aamiin
NB:
Duhai ayah dan Ibu ku, aku mohon do'amu, Restuilah aku tuk pergi menuntut ilmu, Agar kelak bisa menjadi santri yang beriman dan ber budi pekerti, Berakhlakul karimah, berilmu tinggi tetapi tidak sombong diri. Do'akan juga aku menyantri di pohon Kun saat ini, Ayah...Ibu...
4 wicara:
Mantap. Dan akan lebih cantik jika tidak ada kata yang disingkat juga tdk lupa teliti tanda baca hehe
Kereen mbak nanik :)
Maksh pak didin, ok siap.:-)
Alhamdulillah jeng,n ajeng selalu bisa luar biasa.
Posting Komentar