data-ad-format="auto"

SINIS

SINIS

Achluddin Ibnu Rochim

Seorang remaja terancam penjara karena mencuri sandal. Seorang ibu diperkosa di angkot jam tiga dini hari saat mencari nafkah. Warga berkartu GAKIN terncam dikeluarkan dari rumah sakit tempat mereka dirawat, karena hutang pemerintah kota pada rumah sakit belum terbayar. TKW yang dipancung dan TKI yang dipenjarakan di negeri orang. Polisi melakukan kerja sambilan jaga paberik, sekali tempo mengawal setoran pengusaha ke Bank. Ada tentara menjadi beking seseorang, entah siapa. Anak-anak jalanan tak pernah sepi di lampu merah, serta korupsi yang belum kunjung berhenti.
Ada apa dengan negeri ini?
‘Selalu kekurangan’, barang kali itulah jawaban sementara atas apa yang terjadi dengan bangsa ini.
Kurang uangnya. Kurang mobilnya.
Kurang kecantikannya.
Kurang kekuasaannya.
Kurang derajad pangkat martabat.
Kurang.....
Ketika negara tak becus sediakan lapangan kerja, saat negara tidak sanggup jaga keamanan warganya, dan manakala negara belum mampu mengatur pegawai sendiri, maka sulit sekali bagi negara untuk menolak sebutan ‘bangkrut’ atas dirinya.
Negara sebagai agen kebangkrutan tentu berbahaya bagi bangsa, sebab suka atau tidak, bangsa niscaya ikut bangkrut bersamanya.
Pada sebuah negeri yang bangkrut seperti Indonesia, perlukah pelembagaan ‘sinisme’ diusung kembali? Sehingga ‘sinis’ menjadi nilai yang melembaga di tengah-tengah bangsa kita? Jika iya, maka institutional building for Sinisme manjadi sesuatu yang perlu segera dilaksanakan, sebagai sikap tanggap darurat, seperti halnya manakala kita mendapat bencana.
Sinis. Ya sinis...
Sinisme di sini bisa jadi adalah obat bagi bangsa yang terjangkiti penyakit mental ‘selalu kurang’ ini, karena sinisme mengajarkan pada kita untuk menghargai kesederhanaan.
Bagi kaum Sinis, kebahagiaan sejati tidak terdapat dalam kelebihan lahiriah. Tidak pada kemewahan materi. Bukan di kekuasaan politik. Bukan pula pada kesehatan yang baik. Kebahagiaan sejati terletak pada ketidaktergantungan pada segala sesuatu yang acak dan mengambang. Oleh karena kebahagiaan tidak terletak pada keuntungan-keuntungan semacam ini, maka setiap manusia dengan mudah bisa meraih kebahagiaan.
Bagi kaum sinis, manusia tidak perlu memikirkan kesehatan diri mereka. Demikian pula penderitaan ataupun kematian tidak boleh mengganggu mereka. Bahkan mereka tidak boleh membiarkan diri tersiksa karena memikirkan kesengsaraan orang lain.
Jika setiap orang berlaku seperti ajaran sinisme ini, maka penderitaan tidak ada lagi. Dan semuanya akan merasa cukup dengan apa yang ada. Karenanya manusia akan berbahagia.
Adalah dicontohkan oleh Diogenes, yang konon hidup dalam sebuah tong dan tidak memiliki apapun kecuali sebuah mantel, tongkat, dan kantong roti. Dengan apa yang dimilikinya itu maka tidak mudah mencuri kebahagiaan darinya. Syahdan, ketika ia duduk di samping tong nya menikmati cahaya matahari, dia dikunjungi oleh Aleksander Agung. Sang maharaja berdiri di hadapannya dan bertanya apakah raja dapat melakukan sesuatu untuk membantu Diogenes?
“Adakah sesuatu yang kamu inginkan Diogenes!?”
“Ya”, jawab Diogenes, “Bergeserlah ke samping. Anda menghalangi matahari.”
Diogenes mempertontonkan sikap ‘lebih bahagia’ dan ‘lebih kaya’ dibanding sang Aleksander Agung. Dia telah memiliki segala yang diinginkannya.
Dan di Indonesia, sinis tidak berhasil menjadi sebuah nilai yang baik, namun justeru terpeleset pengertiannya. Di sini, istilah ‘sinis’ bergeser maknanya menjadi ‘sikap ketidakpekaan terhadap penderitaan orang lain’ tetapi dengan niat cemooh.
Allah maakkk........ 

2 wicara:

Irfan vanrie mengatakan...

Pak, closingnya membuat kulit dahi saya berkerut. :v

www.pusat-grosir-surabaya.blogspot.com mengatakan...

Silahkan dipakai bando nya hehehe

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE