data-ad-format="auto"

PENDIDIKAN YANG BAGAIMANA?

Achluddin Ibnu Rochim


Siapa lagikah sekarang yang berani gugat sistem pendidikan? jika ia telah dimapankan dan semua dari kita mengangguk tanpa ragu. Jika ketidakberpihakan sistem pada rakyat miskin sedemikian disamarkan, sehingga tak dikenali lagi cacatnya ada di mana. Lalu, sistem pendidikan ini berlangsung tanpa suara miring ataupun protes. Siapakah yang bakal ingatkan, jika sistem itu nantinya justru mengasingkan si terdidik, anak-anak kita. Lebih jauh lagi, bila ia menjadi alat penindas bagi penguasa ataupun pemodal. Kemudian pendidikan hanya menguntungkan kelompok the rulling class? Bagaimanakah jika sistem pendidikan model begini dipertahankan dan dianggap sebagai yang benar. Tanpa ada lagi niat dihapus dan digantikan dengan sistem pendidikan baru?

Betapa celaka sebuah bangsa tanpa kritikus.

Kita amat membutuhkan suara itu meski pelan, lamat lamat, sebagai kritik untuk didengar, agar terdapat tawaran ide-ide yang beda, terpenting lagi adalah, gagasan mengenai pendidikan yang berporos pada pemahaman tentang manusia: Human center development.

Saya kira, model pendidikan akan berhasil manakala pendidikan itu bisa menempatkan manusia sebagai subyek, tidak dianggap hanya sebagai obyek saja. Penerapan sistem pendidikan 'hadap-masalah (meminjam istilah PF)' bisa menjadi alternatif sebagai antitesis dari pendidikan 'keranjang arsip' yang selama ini dengan keji kita praktikkan pada anak-anak didik.

Dalam model pendidikan 'keranjang arsip', anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan ataupun dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh guru dalam 'wadah' itu, maka semakin baiklah guru tersebut. Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi, sebagai murid, anak-anak kita hanya menghafal seluruh yang diceritrakan oleh guru tanpa mengerti.

Saya percaya, sebagian dari kita yang masih waras, menolak model pendidikan 'keranjang arsip' ini. Tapi kita saja tidaklah cukup, perlu ada otoritas kekuasaan sebagai sumber atas man power, supporting system, resources, legitimasi, dan infrastruktur untuk realisasikan itu.

Sayangnya, negara tak punya nyali mengimplementasikan sistem pendidikan dengan penekanan utama pada penyadaran anak-anak didik ini secara total. Ada timbul di sana sini, ketakutan yang menjangkiti kalangan para penguasa.

Bisa dipahami mengapa penguasa begitu gemetar dengan gagasan model pendidikan ini, sebab kekuasaan establish seringkali mensyaratkan ketundukan total atas semuanya, pun juga ketaatan dari kaum terdidik. Apalagi di tengah-tengah struktur masyarakat kita yang masih berbentuk piramida, sebagai sisa-sia peninggalan dari masa feodal hirarkis, di sana ada perbedaan mencolok antara stratum 'atas' dengan stratum 'bawah'. Terjadinya penindasan dari kelas atas terhadap kelas bawah dilakukan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan. Eksploitasi demi eksploitasi membawa golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas.

Dalam kehidupan masyarakat yang kontras semacam ini, lahirlah suatu kebudayaan 'bungkam'. Tidak ada kesadaran reflektif kritis. Semuanya terlelap tak mampu bangun. Masa lalu diartikan sekadar sebagai sekat dari kekinian yang menjepit. Semuanya larut dalam 'waktu sekarang': begitu lama, monoton, juga menjemukan. Hidup sepertinya hanya demi rutinitas: menjadi semut pekerja, kerja dan kerja. Meriah di tampilan, namun kering di jiwa. Kesenyapan inner yang beku. 'Masa lalu' dan 'masa mendatang' tidak lagi eksis, tidak terdapat dalam kesadaran.

Hidup pada kebudayaan bungkam seperti ini, si tertindas hanya bisa menerima semua bentuk perlakuan dari si penindas. Celakanya, si tertindas justeru ketakutan akan hadirnya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Ini sama saja dengan proses dehumanisasi atas manusia. Sebab dalam kebungkaman, bahasa tak lagi menjadi alat untuk prakondisi guna menguasai realitas hidup. Ia telah menjadi kebungkaman massive. Bungkam di sini bukanlah sebagai sikap protes atas perlakuan tidak adil yang mereka terima. Bukan pula strategi dalam meresistensi dari intervensi penguasa di luar dirinya.
Bukan, bukan itu. Namun, budaya bungkam yang terbentuk oleh 'kebungkaman sunyi' itu sendiri dan bukan diniatkan diri untuk bungkam.

Anak-anak yang hidup pada situasi budaya bungkam ini tidak tahu apa-apa. Tidak miliki kesadaran bahwa mereka bungkam dan dibungkamkan. Karenanya, anak-anak harus menguasai realitas hidup, pun juga termasuk menyadari kebungkaman mereka, karenanya bahasa harus mereka kuasai. Sebab kuasa atas bahasa sama dengan miliki kesadaran kritis dalam menyingkap realitas.

Pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang dengannya anak-anak dapat mendengar suara asli mereka sendiri. Pendidik harus merelevansikan anak-anak berbudaya bungkam ini dengan mengajar untuk memampukan mereka dengarkan suaranya sendiri, bukan suara dari luar pun tak juga suara si guru.

Dalam kepungan struktur feodalisme hierarchie berbasis kekuasaan dan modal demikian, lembaga pendidikan musti terbetot membebaskan manusia tertindas yang telah 'dibungkamkan'. Para guru harus menegasikan model pendidikan 'keranjang arsip' yang menjadi sumber penindasan dan kebungkaman. Dan beralih ke pendidikan 'hadap masalah' sebagai cara membangunkan kesadaran masyarakat bungkam.

Konsepsi model pendidikan 'hadap masalah' seperti yang dikehendaki PF adalah 'Manusia itu sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada anak-anak didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik. Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri anak-anak didik.

Bukankah murid yang baik adalah murid yang mampu memilih, menguji, mengkaji dan mengujinya lagi sebelum melakukan tindakan. Dari sini diharapkan anak didik tidak sekadar terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas. Tidak pula hanya menjadi masyarakat bungkam, tertutup, fatalistis, hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan. Tidak pula bersikap primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog. Namun lebih dari itu, akan beroleh kesadaran kritis transitif. Kesadaran yang ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.

Seperti PF pernah berkata, "manusia adalah mahluk yang berelasi dengan Tuhan, sesama dan alam. Dalam relasi dengan alam, manusia tidak hanya berada di dunia tetapi juga bersama dengan dunia. Kesadaran akan kebersamaan dengan dunia menyebabkan manusia berhubungan secara kritis dengan dunia." Tuhan memberikan kemampuan bagi manusia untuk memilih secara reflektif dan bebas. Dalam relasi seperti itu, manusia berkembang menjadi suatu pribadi yang lahir dari dirinya sendiri.

Jika memang demikian, maka jangan jadikan mereka, anak-anak didik, hanya sebagai mesin photocopy belaka. Karena pada setiap anaklah, alam mempercayakan takdir dirinya hingga hari benar-benar berakhir.

1 wicara:

Anonim mengatakan...

Eropa pada rentan waktu 90an telah terjadi gerakan sadar diri yang di motori oleh para pemuda, kususnya di jerman dan inggris. Idialisme ketika masih di bangku menegah seakan hilang ketika masuk ke dalam perguruan tinggi, keyakinan akan menjadi seorang ahli atau science di bidang disiplin ilmu seakan runtuh oleh sistim pendidikan yang tersedia di eropa, faktanya pendidikan di eropa kalah itu menjadikan manusia siap pakai di bidang industry mengakibatkan perguruan tinggi mendapat label PERUSAHAAN PENYEDIA JASA. Ini adalah cikal bakal munculnya peradapan mesin.



Perguruan tinggi menyediakan mahasiswa sesuai dengan pemilik modal yang di butuhkan oleh industry dalam menghadapi masyarakat sehingga perguruan tinggi menciptakan mahasiswa yang berfikir konstruktif dengan menyeting kurikulum dan sistim pendidikan yang habbit menina bobokan mahasiswa yang mengakibatkan hilangnya idialisme penelitian menjadikan manusia menjadi robot (manusia siap pakai). Keadaan ini mempercepat pertumbhuhan kaum hipis di eropa dengan gelar (generasi frustasi) dalam pendidikan karena hilangnya idialisme mereka yang di sebabkan perbedaan ekspektasi ketika masuk dunia kampus.

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE