Achluddin Ibnu Rochim
Tahukah aku sendiri
Menunggu kamu
Jangan pergi pergi lagi
Aku tak mau sendiri
Temani aku tuk sebentar saja
Agar aku tak kesepian.
Katanya pergi sebentar
Ternyata lama
Tahukah aku sendiri
Menunggu kamu
Jangan janji janji baru
Aku tak mau kau bohong
Temani aku tuk sebentar saja
Agar aku tak kesepian
............................
..................
Sepotong lagu dari Vierra mengiringi secangkir kopi pagi saya.
Lagu yang amat sederhana.
Remeh namun tidak asal.
Enteng tapi kena.
Berirama andante, dikemas dengan nada mayor.
Syairnya begitu merajuk. Ngambek!
Warna lagu yang tak membuat dahi saya berkerut, seperti layaknya ketika mendengar Scherzoo, shympony No. 9 nya Ludwig Van Beethoven atau Atoumn Leaves, versi Jazz nya Syaharani.
Meski Vierra seperti bermain, saya menangkap mereka tidak main main. Buktinya, saya hanyut, terapung di atas genre PowerPop Disney yang mereka usung.
Sebuah grup band sering kali mewakili tempat dimana mereka diasuh. Anak band adalah suara kehendak zaman, saat mana mereka tumbuh dan dididik. Tak terkecuali group musik asal Jakarta ini.
Dibentuk pada November 2008, era di mana Indonesia telah baru saja selesai dengan hingar bingar perubahan besar politik tanah air. Ketika para prajurit sudah ditarik ke barak, dan mahasiswa sudah kembali ke kampus, kuliah lagi. Pemerintahan negara berjalan sebagaimana biasa, lengkap dengan segala prestasi juga boroknya.
Pada sebuah jeda sejarah Indonesia. Saat Euporia tengah surut, dan Poster disimpan. Pamflet yang terkelupas oleh hujan. Juga spanduk yang digulung. Ending kegaduhan jalanan. Akhir dari megaphone.
Peralihan, di mana orang berteriak, simpang siur, telah berpindah ke Senayan. Ke Gedung Parlemen. Bersafari dan necis.
Di situ Kevin Aprilio pada piano, dengan empat sebayanya, Widy Soediro Nichlany pada vokal, Raka Cyril Damar pada gitar, Satryanda Widjanarko pada drum dan dibantu seorang bassist Deryansha Azhary, hadir men sounding kan taste mereka pada dunia.
Lima orang muda, malah teramat belia menurut saya, yang ogah pada 'keseriusan' para pembesar dan oposan negeri ini, yang ternyata adalah para 'pelawak tak lucu' itu. Anak anak yang tidak mau dibingkai dalam minstream hal hal yang beraroma negara dan segala tetek bengek formalitas. Para ABG yang lebih menyukai chating di jejaring sosial dunia maya, Friendster, hal mana situs ini telah sukses mempertautkan mereka menjadi satu band indah.
Dengan umur mereka, tak heran jika sekelompok remaja ini, bernyanyi dengan jujur dan lugas, seperti layaknya remaja pada umumnya. Musik mereka, berbicara atas nama diri mereka sendiri. Dirangkai dari sekumpulan momen yang sangat sehari-hari, dialami sendiri: Hidup, bermain, bercinta, pesta, belajar, juga bercanda. Dan usialah yang menuntun mereka pada pilihan, menulis dan memainkan lagu-lagu sesuai dengan hati mereka. Coba dengarkan, lewat single pertama, 'Dengarkan Curhatku' kita bisa langsung tahu, siapa mereka sesungguhnya.
Anak anak bangsa yang sedang berbagi pelajaran, tentang apa itu ketulusan dari dalam hati. Tanpa harus sok bijak menasehati.
Vierra beruntung. Mereka beranjak besar pada jaman pemerintah masih pontang panting dengan dirinya sendiri, hingga tak sempat 'mengurus' musik. Keberuntungan nasib yang tak sempat dimiliki Koes bersaudara di sekitar tahun 60 an. Di jaman ketika pemerintah kurang kerjaan, lalu nyinyir ngurusi musik.
Seperti peristiwa pada pagi itu, hari Kamis, tanggal 1 Juli 1965, tengah berlangsung ketegangan mencekam di depan sebuah rumah Jalan Mendawai III, Jakarta Selatan. Ada satu peleton Tentara dari Komando Operasi Tertinggi, KOTI dengan garang menggelandang para penghuninya. Korban itu adalah Tony Koeswoyo, Yon Koeswoyo, dan Yok Koeswoyo. Mereka dikenal sebagai Koes Bersaudara. Mereka diciduk untuk dijebloskan ke Penjara Glodok. Menjadi pesakitan, mendekam pada ruangan nomor 15 yang pengap, kotor dan bau apek berukuran 2x3 meter. Tidak tega dengan para saudaranya, Nomo Koeswoyo pun menyusul ke penjara, atas kemauan sendiri. Agaknya, ia tak mau berpisah dari saudara-saudara tercinta. Praktis, seluruh anggota band Koes Bersaudara menjadi tahanan.
Koes Bersaudara dituduh meracuni jiwa generasi muda, karena membawakan lagu lagu satu genre dengan The Beatles, band asal Liverpool, Inggris. Musik "ngak ngek ngok" kata Pemerintahan berkuasa saat itu, musiknya imperialis barat. Karena itu, mereka dianggap tidak sehaluan dengan revolusi. Itu berarti mereka bersalah, berdosa pada revolusi, pada Negara.
Dosa yang sama, oleh pemerintah Orde Baru, pernah disangkakan pada Raja Dangdut Oma Irama di era tahun 70 an. Oma dicekal, gara gara lagu berjudul "Rupiah" dianggap mengganggu stabilitas nasional. Mengganggu stabilitas nasional sama dengan anti pembangunan. Itu berarti makar, mbangkang pada negara. Santer isu beredar kala itu, versi masyarakat, bahwa Oma dicekal karena tidak mau masuk Golkar, Partai Berkuasa.
Setelah Oma Irama berhasil diselesaikan oleh pemerintah, lelucon terjadi pada pertengahan tahun 1980, seorang pejabat Menteri Penerangan tiba tiba gatal kupingnya. Dia adalah Harmoko, sebagai menteri, ia melarang musik cengeng di nyanyikan. Kendati tidak jelas definisi musik cengeng itu seperti apa, namun korban telah jatuh. Sekian karya Rinto Harahap dan Obie Mesachk, telah distigma. Juga penyanyi seperti Betaria Sonata, Nia Daniati, Iis Sugianto pun tak ketinggalan, mereka kena getahnya.
Lembaran kisah gelap musik tanah air juga menyisakan halaman buat yang bernama Doel Sumbang. Ia pernah berurusan dengan aparat, karena lagu "Mimpi Siang Bolong" dianggap memojokan penguasa negeri ini. Alhasil, lagu itu, juga album "Kelompok Repot" serta lagu "Aku dan Hasyim Munaif" dibreidel. Malahan album yang lainnya juga ikut ikutan di beredel oleh Rejim Orde Baru.
Apa yang menimpa Iwan Fals, di tahun 1984, belum juga mampu menegaskan secara pasti, bagaimanakah jenis musik yang berdosa itu? Di mana batasan batasannya, apa yang boleh dan apa yang tidak, menurut aturan perundangan. Dan sayangnya, negara tak pernah sempat, merumuskan regulasi tentang musik, secara tersendiri. Aturan mana yang lebih berazas lex speciale derogat lex generale, sampai Iwan Fals di interogasi di Pekan baru. Iwan dikenai "wajib lapor" pada aparat, oleh sebuah aturan atau batasan yang tak jelas benar. Semacam karet, bisa molor bisa menyusut, tergantung selera penguasa. Tuduhan karena dua lagunya "Mbak Tini" dan "Demokrasi Nasi" dianggap meresahkan. Meresahkan siapa? Orang desa tak dengarkan Iwan, mereka lebih memutar gending atau nDangdut. Anak muda? Di manakah ada anak muda waktu itu, yang naik podium, setelah menyimak Iwan? Tak ada. Barangkali hanya aparat yang sedang bingung atau negara sedang terjangkit paranoid, lalu mereka resah sendiri.
Saya bisa merasakan, suasana kebatinan Iwan, yang di tahun 1989, hanya mengenakan kain sarung, terduduk tak berdaya. Wajahnya murung dan lecek, di lobi sebuah hotel di Palembang tempat ia menginap. Seraya bernyanyi lirih dengan iringan gitar akustik, Iwan menangis. Seorang musisi lelaki, pemberani dan paling lantang lancarkan protes itu bagai sehelai bulu terombang ambing angin ketidak tentuan. Iwan dibatalkan ijin konser "100 kota" nya oleh aparat keamanan, tanpa alasan jelas.
Memang, setiap rejim miliki keusilannya sendiri. Menko PolKam, Soesilo Soedarman, tahun 90 an, pernah memberikan Cap pada kelompok musik heavy metal, Metallica, sebagai musik Setan, setelah konser Metallica di Lebak bulus berujung rusuh, padahal keributan terjadi di luar arena, itupun karena ulah calon penonton yang tak bertiket memaksa masuk. Sepenuhnya peristiwa tindak kriminal, dan tak ada hubungannya dengan musik, bukan karena genre musik.
Nasib apes pernah pula menimpa Dik Doank. Ia pada album Atiek CB bertitel "Magis" terlalu ekspreif dengan mencantumkan gambar "Palu Arit" di halaman sampul album buatannya. Lalu Cover album itu ditarik dari pasaran. Dan dia berurusan dengan aparat. Dik Doank ditindak.
Waktu memang terkadang kejam. Tapi apa daya, musisi, juga kita, sudah terlanjur terlahir di sini. Di Republik ambigu, yang sedang gugup dengan perubahan di sekitar dirinya, sehingga kadang berlebihan bertindak. Tak tahu harus bagaimana, menghadapi bebunyian, aneka ragam suara, juga warna dan carut marut ide, tanpa harus kikuk bersikap.
Negara yang panik, seringkali salah berbuat. Saya kira, juga Indonesia.
Dari kediaman ini, lagu Vierra masih mengalun.
Vierra yang polos, belum tersentuh. Belum terkena 'racun', terkontaminasi ideologi. Kiri atau Kanan.
................
Jangan pergi pergi lagi
Aku tak mau sendiri
Temani aku tuk sebentar saja
Agar aku tak kesepian.
............................
Lamat lamat, terdengar Bibik, yang sedang menyapu bersenandung, berusaha menyamakan suaranya dengan lirik lagu Vierra, tapi saya tahu: ia tak berhasil persis.
Ah, bibiikk....bibik.
0 wicara:
Posting Komentar