Di musim liburan ini saya menatap wajah anak-anak sekolah dengan prihatin.
Ada rasa dongkol sekaligus gemas yang perlahan menyelinap ke dada.
Betapa tidak!
Sosok anak-anak itu seperti hendak katakan pada kita tentang derita pendidikan yang memenjaranya.
Dengan pendidikan, mereka telah begitu banyak kehilangan.
Ada rasa dongkol sekaligus gemas yang perlahan menyelinap ke dada.
Betapa tidak!
Sosok anak-anak itu seperti hendak katakan pada kita tentang derita pendidikan yang memenjaranya.
Dengan pendidikan, mereka telah begitu banyak kehilangan.
Sekolah sudah merampas waktu bermainnya. Sekolah telah menyempitkan dunianya, sekolah lakukan pelokalisiran tempat, pembatasan teman, minimalisasi opsi, pemberangusan kreatifitas natural mereka, penyederhanaan imagi mereka. Bahkan lebih jauh, anak-anak kita itu sudah kehilangan akan 'diri'nya sendiri.
Bagaimana 'neraka' ini bisa dibiarkan terjadi dan berlangsung terus? Tak lain adalah karena kita yang menjadi penyebab secara tidak sadar.
Kita, ya kita, tidak miliki ketabahan menghadapi petualangan 'gagasan natural' anak, sehingga secara buru-buru menelikungnya dengan doktrin 'cara hidup' kita yang instan melalui lembaga penitipan 'sekolah'.
Dengan begitu kita bisa istirahat dari gangguan 'chaos ide' anak-anak, meski tebusannya adalah anak kita bakal kehilangan individualitas. Peduli amat! Terpenting kita bisa rehat nikmati kopi dan tidur nyenyak.
Kita tidak pernah mau tahu tentang pentingnya 'individualitas' bagi manusia, khususnya anak-anak.
Padahal, setiap kita, hakekatnya memiliki individualitas itu.
Dengan individualitas, maka setiap kita, akan memiliki kebebasan mengungkapkan perasaan, juga gagasan diri. Sayangnya, 'Indiviualitas' kita ini begitu sulit untuk tumbuh dan sering kali tidak tercapai oleh sebab 'setting situasi ekonomis' yang telah menjerumuskan kita ke arah sudut 'keterkucilan' dan 'perangkap ketidakberdayaan' diri.
Berangkat dari titik keterasingan dan ketidakberdayaan inilah, lantas muncul hasrat kita untuk 'melarikan diri' atau bisa juga memilih bertahan, dan berkompromi kendati sebenarnya kita jalani semua ini dengan terpaksa.
Jika sudah sampai tahap ini, kita yang telah terkucil akan berakhir menjadi sang AUTOMATON. Kita tak ubahnya menjadi mahluk hidup yang bergerak dan berpikir serupa mesin, serba otomatis. Setelah itu kita akan kehilangan hakekat diri sendiri.
Memang sebagian besar dari kita telah terjebak dalam 'format tata hidup' demikian karena mewarisi nilai-nilai yang sudah ada. Kebudayaan, secara sukses, telah membangun konstruk dalam mengakselerasi kecendrungan kita supaya menjalani konformitas, menyesuaikan dan mencocokkan diri dengan sesama. Perasaan kita yang seharusnya tercetus dengan spontan ditekan dari seluruh penjuru, karenanya perkembangan individualitas sejati kita sejak sangat dini sudah dibonsai, 'dikerdilkan'.
Kitapun pada gilirannya mempraktek-paksakan konformitas ini pada generasi berikut, yakni anak-anak kita, malahan penekanan-penekanan ini sudah kita lakukan sejak anak-anak kita peroleh pendidikan pertamanya, di tengah keluarga. Sehabis itu, kita lemparkan anak-anak kita tadi pada penjara harian yang kita sebut sebagai sekolah demi peroleh berbagai bentuk tekanan-tekanan lain yang tak kalah kejamnya.
Kita, pun juga Pendidikan, telah berkianat pada misi sucinya sendiri. Sasaran pendidikan tidak lagi meneguhkan individualitas hakiki anak, tak lagi memperkuat kemandirian sejati anak. Justeru malah membunuh perkembangan kejiwaan dan integritas anak kita. Memanglah, tak bisa dipungkiri bahwa tekanan terhadap anak yang sedang tumbuh tetap boleh-boleh saja ada, sepanjang itu hanya langkah-langkah sejenak dan temporer yang sebenarnya demi mendorong proses pertumbuhan dan perluasan cakrawala anak, namun ini tidak untuk dilanggengkan.
Tradisi pendidikkan, pun juga kita, telah begitu kerap melahirkan pembinasaan kespontanan anak, lantas menukar cetusan-cetusan jiwa asli ini dengan perasaan, pikiran, dan harapan yang sengaja kita injeksikan dari luar diri anak.
Akhirnya, anak-anak kita mempunyai karakter palsu.
Karakter semu.
Celakanya, kita adalah penyokong paling kuat atas terbentuknya karakter bikinan ini.
Dan korbannya ialah anak-anak kita sendiri, korban dari Mind sett generasi, yang dicetak sebagaimana para orang tua mereka dulu pernah diformat karakternya oleh generasi sebelumnya.
Terlepas dari semua kegilaan dan kekejaman pendidikan itu, kita tetap layak ucapkan:
Selamat berlibur, anak-anakku.
Kalian sedang bebas bersyarat.
Terbanglah.
Lupakan pelajaran.
Lupakanlah sekolah!
9 wicara:
Setuju..
Ijin share di media kebebasan. Itu lho, media yang sering dijadikan acuan masyarakat.. Hahahah
Hahahha betull
Ah, pak didin mah suka gitu
Looh tulisan iki muncul meneh...
kog koyo tau moco iki.....
Oooke... aq kaet totok kost... sek tak adus dilek... hehehheh
Hehhehehe...yo iku be'menowo lek mari adus kan tambah pinter.. terose bos.bambang lek kepngen pinter siro kudu adus rumiyen..
lha sa' niki banjur ws adus yo tetep gk pinter hehhehe...
Posting Komentar