Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag Surabaya
Kota Kai Feng, pagi hari.
Musim semi baru saja jatuh dari langit. Segar udara, menghempas hamparan luas, menghembusi gunung ngarai dan desa-desa.
Para petani saling mengucapkan selamat menyambut musim semi dengan ucapan "SIN CUN KIONG HIE" (XIN CHUN GONG XI).
Di tengah suasana damai menyambut jutaan kuncup ini, sebenarnya merayap kengerian, mencekam ke seluruh pelosok negeri.
Kepak suara kaki kuda sebentar sebentar terdengar di sana sini. Orang-orang sibuk lalu lalang dengan perbekalan di mana-mana.
Santer terdengar sebuah kabar, bisik-bisik: Kekaisaran dinasti Ming segera akan runtuh!
Pasukan pemberontak Li Zi Cheng telah menyelinap ke seluruh sudut kotaraja.
Negara sedang genting.
Agaknya, jenderal Li dan tentaranya memahami kecemasan para petani ini.
Sambil menyamar sebagai pedagang beras keliling disebarkanlah informasi: bagi siapa saja, rakyat jelata yang memasang lentera merah di muka rumah masing-masing, tidak akan diganggu prajurit Li.
Ke esokan harinya, Pecah perang memporak porandakan kota Kai Feng. Tapi tidak ada satupun leher yang digantung, rakyat telah menggantinya dengan gantungan lentera.
Pertempuran usai. Jenderal Li berhasil menekan jumlah korban.
Rakyat senang.
Selang berikutnya, tepat tanggal 8 maret 2637 SM, Kaisar Oet Tee (Huang Ti) 2698-2598 SM mengeluarkan siklus pertamanya dari masa ia memerintah.
Dari sini terbitlah sebuah cikal bakal hari Imlek dimulai.
Seterusnya, hingga Kaisar Han Bu Tee (140-86 SM) dari Dinasti Han (206 SM-220 SM) menetapkan ajaran Kongfuzius (Kong Hu Chu) sebagai agama resmi. Dan penanggalan (He Lek) milik Kong Hu Chu dipakai oleh negara.
Sekian generasi kemudian, ucapan "SIN CUN KIONG HIE" (XIN CHUN GONG XI) dianggap sudah kuno. Karena itu diganti dengan ucapan "KIONG HIE HUAT TJAY" (GONG XI FAT CHAI).
Kalimat ini sekarang telah bergeser makna, dan berkonotasi menjadi 'Selamat Tahun Baru, Semoga membawa Rejeki Melimpah, Kesehatan, dan Keberuntungan'.
Tapi benarkah?
Mereka berkelimpahan rejeki?
Selalu sehat dan beruntung?
Saya kok tidak yakin.
Catatan yang sampai pada saya menunjukkan sebaliknya.
Sejarah masyarakat China adalah lembaran yang teramat panjang dengan sebagian besar berisikan kisah tentang kegetiran.
Ada pengusiran, penindasan, pembunuhan, juga pengkhianatan.
Di masa VOC, sebagian mereka dijadikan budak, sebagian yang lain dijadikan katub pengaman dalam sebuah 'hubungan ekonomi' antara kulit putih dengan pribumi.
Di tengah-tengahlah China diletakkan sebagai 'karet gencet'.
Tidak sampai situ, kekejaman VOC juga membumihanguskan kaum China di Batavia dengan membawa kaum Betawi untuk menjadi anak buah dalam penyerangan tersebut.
Dengan negara RRT sendiri yang jauh di seberang sana, pernah pada suatu era, mereka dibuat agar sesama mereka tidak bisa berhubungan. Orang berhaluan kanan tidak boleh dagang, bahkan tidak boleh menjalin hubungan cinta dan pernikahan dengan anak-anak orang berhaluan kiri.
Hati nurani manusia telah ditekuk sedemikian rupa.
Bertemu dengan sahabat lama di tengah jalan, hanya karena aliran politik berbeda, bisa saling membuang muka, dan yang lebih mengenaskan, murid yang bersekolah haluan kanan, jika bertemu dengan murid sekolah haluan kiri mereka terpaksa menundukkan kepala seraya menghindar.
Politik luar negeri RRT berhasil mempertebal catatan sejarah mengeni banyak kenyataan bencana yang senantiasa menimpa komunitas China di negara mana saja yang menjalin hubungan dengan pemerintahan Komunis China.
Kudeta haluan kiri yang gagal di Indonesia menyebabkan hancurnya seluruh kekuatan yang ada.
Eksesnya merembet ke seluruh komunitas China hingga pedesaan. Akibatnya, mereka alami kesengsaraan yang meluas.
Terhadap kejadian ini, Partai Komunis Tiongkok sama sekali bungkam, tidak berani mengambil tindakan.
Mereka dikhianati negara induknya sendiri.
Dibiarkan menderita di rantau orang.
Beruntung, perang dingin segera berakhir, dengan hasil kemenangan Barat, disertai ideologi Kiri yang tak lagi menarik dan kehilangan hormat di mana-mana.
Tapi sebelum semua itu, bab suram telah menuliskan pertalian mereka dengan Indonesia.
Dengan bengis, mereka pernah dibunuh secara massal, selama tiga tahun diburu-buru di Jawa 1946-1948. Pada tanggal 10 Mei 1963 terjadi lagi penganiayaan massal pada orang-orang China. Terbesar di Jawa Barat, hanya gara-gara keributan kampus ITB antara mahasiswa pribumi dan non-pribumi.
Peristiwa kekerasan ini menjalar ke kota Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan.
Nasib kemudian menggiring mereka ke arah bawah kaki Orde Baru.
Pada zaman kapitalisme semu ala para Jenderal ini, mereka hanya dijadikan sapi perahan, diberi fasilitas 'bisnis dalam rangka'.
Dibesarkan dalam konglomerasi untuk tujuan kolusi, korupsi, konspirasi: sebagai komprador pada sistem monolitik demi menyangga struktur ekonomi nasional.
Tujuan akhir adalah kelanggengan bangunan ekonomi sang Rejim itu sendiri.
Di luar itu mereka dibungkam suara dan hak politiknya, bahkan sebelumnya, setelah instruksi presiden nomor 14 tahun 1967 tentang pelarangan merayakan imlek di indonesia, nasib china semakin tidak menentu.
Penggantian nama dari nama China menjadi nama lokal serta pemasungan budaya tak menyurutkan potensi vandalisme pada etnis ini.
Hingga akhirnya kejadian di Pekalongan, 31 Desember 1972 seusai pemakaman pemuda china yang terbunuh dalam perkelahian dengan orang Arab, terjadi penggasakan atas mereka oleh orang-orang Arab.
Di Palu, 27 Juni 1973 Sekelompok pemuda menghancurkan toko China. Kerusuhan muncul karena pemilik toko itu memakai kertas yang bertuliskan huruf Arab sebagai pembungkus dagangan.
Di Bandung, 5 Agustus 1973 dimulai dari serempetan sebuah gerobak dengan mobil berbuntut perkelahian. Penumpang mobil itu adalah orang-orang China.
Tak pelak, kerusuhanpun meledak di mana-mana.
Kecurigaan pada kaum sipit meruyak ke segenap sel darah sumsum pribumi.
Di Ujungpandang, April 1980, Suharti, seorang pembantu rumah-tangga meninggal mendadak. Kemudian beredar desas-desus: Ia mati karena dianiaya majikannya, seorang China. Meletuslah kerusuhan rasial. Ratusan rumah dan toko milik suku peranakan dirusak.
Di Medan, 12 April 1980, sekelompok mahasiswa USU dengan enteng bersepeda motor keliling kota, sambil memekikkan teriakan anti China. Kerusuhan itu bermula dari perkelahian kecil.
Di Solo, 20 November 1980 Kerusuhan melanda kota Solo dan merembet ke kota-kota lain di Jawa Tengah. Bermula dari perkelahian pelajar Sekolah Guru Olahraga, antara Pipit Supriyadi dan Kicak, seorang pemuda peranakan China. Perkelahian itu berubah menjadi perusakan dan pembakaran toko-toko milik orang-orang China.
Di Surabaya, September 1986 Pembantu rumah tangga dianiaya oleh majikannya yang China. Kejadian itu memancing kemarahan masyarakat Surabaya. Mereka melempari mobil dan toko-toko milik orang-orang China.
China Phobia!
Demikian saya menyebutnya. Agaknya penyakit jenis ini dengan subur memproleh tempatnya di masyarakat kita. Bangsa pengidap penyakit ini selayaknya patut dikasihani. Selalu khawatir pada hantu bayangan penyakitnya sendiri tanpa sebab.
Sebuah bangsa empuk, syurga bagi para propagandis SARA.
Pendek kata, bagi provocator, tidak sulit membakar Indonesia. Cukup dengan teriak 'ganyang china!' maka dalam waktu singkat bangsa santun ini akan berubah menjadi monster pemusnah.
Celakanya lagi, setiap ada yang tak beres dengan republik ini, seringkali kesalahan kita timpakan pada si sipit itu.
Mereka dibuat sebagai ajang fitnah dan alamat telunjuk menudingkan semua dosa yang tak pernah mereka lakukan.
Ekstrimnya: bila ayam tetangga mati, atau tiba-tiba anda mimpi buruk dalam tidur, maka dengan segera anda menemukan 'kambing hitamnya': ini pasti ulah China!
Lucunya, pernah terjadi di Bandung, 14 Januari 1996 Massa mengamuk seusai pertunjukan musik Iwan Fals. Mereka melempari toko-toko milik orang-orang China.
Usut punya usut ternyata pemicunya, mereka kecewa tak bisa masuk pertunjukan karena tak punya karcis.
Sungguh urusan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan China.
Dalam teori manajemen konflik indonesia klasik, mereka jugalah yang sering dibenturkan dengan kelompok Islam.
Mereka lupa bahwa yang membawa Islam masuk ke Nusantara adalah para hok kian ini.
Untuk yang ke sekian kali, di Pekalongan, 24 November 1995 Yoe Sing Yung, pedagang kelontong, menyobek kitab suci Alquran. Akibat ulah penderita gangguan jiwa itu, masyarakat marah dan menghancurkan toko-toko milik orang-orang China.
Di Indonesia, masih panjang daftar derita mereka.
Di Ujungpandang, 15 September 1997 gara-gara Benny Karre, seorang keturunan China dan pengidap penyakit jiwa, membacok seorang anak pribumi, kerusuhanpun meledak, toko-toko China dibakar dan dihancurkan.
Februari 1998 pengganyangan serentak atas kaum ini terjadi mulai dari Kraksaan, Donggala, Sumbawa, Flores, Jatiwangi, Losari, Gebang, Pamanukan, Lombok, Rantau Prapat, Aek Nabara: issue utamanya, gerakan massa Anti China.
Puncaknya, Kerusuhan Mei 1998 Salah satu kerusuhan rasial yang paling dikenang sebagai drama hitam Indonesia. Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga keturunan China.
Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Solo. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh.
Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga keturunan China yang terbunuh, terluka, mengalami pelecehan seksual, penderitaan fisik dan batin serta banyak yang meninggalkan Indonesia.
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan kontradiksi, tidak sesuai dengan fakta sebenarnya yang terjadi. Dengan mengatakan bahwa sama sekali tidak ada pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan China, disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih diliputi ketidakjelasan serta kontroversi hingga hari ini. Namun umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara pihak korban, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian orang-orang China.
Lihatlah apa yang berlangsung pada tanggal 5-8 Mei 1998 kebencian pada China membakar Medan, Belawan, Pulo Brayan, Lubuk-Pakam, Perbaungan, Tebing-Tinggi, Pematang-Siantar, Tanjung Morawa, Pantai Labu, Galang, Pagar Merbau, Beringin, Batang Kuis, Percut Sei Tuan: Ketidak puasan politik yang berkembang menjadi anti China.
Pun juga di Solo, 14 Mei 1998, ketidakpuasan politik yang kemudian digerakkan oleh kelompok politik tertentu menjadi api kerusuhan anti China.
Kerusuhan Mei 1998, menyisakan fakta, data dan analisa memakan 1.339 jiwa warga Indonesia, termasuk hampir seratus perempuan Indonesia etnis China yang mengalami kekerasan seksual dan diperkosa, lebih dari 5.723 bangunan, 1948 kendaraan dan 516 fasilitas umum dibakar di beberapa kota besar di Indonesia.
Data di atas bukanlah sekadar angka statistik mati, bukan hanya besaran jumlah, tapi peristiwa dengan jerit kengerian di baliknya yang tak bisa dibungkam lantas dilupakan begitu saja.
Tidak!
Bicara China sama dengan menonton melodrama tanpa berkesudahan.
Hingga tatkala panggung telah berubah menjadi temaram dan siap tutup layar, ketika sang matahari senja sedang bergerak turun bersiap mengakhiri hari, tetap saja berdiri seorang Ling Ling yang begitu muram menatap ufuk sambil meratap pada langit, bergumam: apa salah dosa kami?
Lakon belum selesai.
Dan malam pun rebah tak berikan jawab, hanya desau suara angin musim semi yang membisikkan luka, juga kesangsian: sedemikian ambigu.
Kendati sejarah pernah meminjamkan pada Indonesia, seorang Gus Dur, namun di mata gelap kita yang sedang dalam kondisi a historis ini, standar moral dan kriteria penilaian benar atau salah atas komunitas China, menjadi sedemikian rancu.
Bagi kita, seolah mereka tak pernah punya makna apa-apa.
Memang hidup kadang tak harus merasa miliki makna, tapi setidaknya mereka layak dikenang, bahwa pada sebuah masa, kaum China ini pernah ikut membuka jalan bagi terbentuknya sebuah negara bangsa, multy etnis: Indonesia.
Meskipun hidung mereka sewaktu waktu bisa dengan gampang ditunjuk atas apa yang tidak pernah mereka lakukan, toh mereka masih berlapang dada menyebut dirinya 'Indonesia'.
Di hari imlek ini, kita tak boleh amnesia lagi.
Gong Xi Fat Chai, ya Mey...!
0 wicara:
Posting Komentar