Kususma Ndaru
Mahasiswa Psikologi UNTAG Surabaya
Perilaku moral manusia berbijak pada cinta diri, pada
asas mecari nikmat dan menghindari kesakitan. Namun dalam realita, apa yang
dialami nikmat dan menyakitkan bervariasi dan berubah ubah, kita tidak bisa
menetapkan standart-standar moral dan metafisik yang absolut. Manusia
termotivasi untuk mencari kesenangan, menghindari rasa sakit, untuk mencari
harapan dan menghindari rasa takut, mencari penerimaan sosial dan menghindari
penolakan. Persoalan mendasar manusia di seluruh dunia. Segelintir orang
melihat masalah ini dapat diselesaikan dengan pertumbuhan ekonomi. dengan dasar meningkatkan kebahagiaan
masyarakat, pertumbuhnya ekonomi berdampak pada ketersediaan fasilitas (mobil,wisata, rumah, kesehatan,)
bisa di dapat dengan lebih baik, murah, dan mudah. Namun studi psikologi,
sejarah dan biologi membuktikan tanpa keraguan bahwa memiliki rumah yang lebih
besar, harta , dan bahkan obat-obatan yang lebih baik tidak meningkatkan
kebahagiaan manusia. Neurologi melihat kebahagian sebagai aktivitas listrik
yang ada pada otak manusia, menghasilkan hormon endorfin yang akan di sebar
keseluruh tubuh melalui aliran darah yang memberikan dampak kebahagiaan.
Bukankah sia-sia usaha selama ini untuk meningkatkan
ekonomi tidak berdampak pada kebahagiaan?, Studi sejarah bahkan menyatakan kita
saat ini tidak lebih bahagai dari pada nenek moyang berburu pengumpul kita;
Kita lebih menderita. Bagaiman anda melihat tulisan di belakang truk
"piye, enak jamanku toh!". Lalu untuk apa pertumbuhan ekonomi? Sampai
kapan ekonomi harus tumbuh? Sampai kapan kita salah arah? Dampak dari
pertumbuhan ekonomi menjadi beban bagi bumi dan penghuninya, alam menglami
kerusakan, ekosistem terganggu, menyempitnya tempat layak huni, akibat
pencemaran lingkungan.
Dalam revolusi industri yang ke 4.0, manusia
dijanjikan kehidupan yang lebih baik, semua aktifitas kita ditentukan oleh para
rabi di Silicon Valley. Kecerdasan buatan pada smartphone dan fitur kemudahan
yang ada, apakah mampu memberi kebahagiaan?,
Testimoni yang saya lakukan untuk mencari motif seseorang menggunakan
Instragram menunjukan jawaban yang cukup mencengangkan "takut".
Ini membuktikan bahwa efek FOMO (fear missing out) melanda penduduk dunia. Salah
satu kelemahan dari smartphone dan internet, mereka adalah sumber gangguan
konstan, dan mayoritas apa yang mengalihkan perhatian kita adalah sesuatu yang
tidak penting. Sumber komoditi yang mahal saat ini adalah perhatian. Semua situs
dan aplikasi yang beredar di dunia maya, berlomba untuk mendapatkan perhatian
kita, orang-orang psikologi berperan sentral dalam mendisain aplikasi dan web,
spesialis dalam memegang perhatian orang. Psikologi telah menjerumuskan
kemanusian dalam lembah penderitaan.
Mayoritas pengguna teknologi saat ini merupakan
orang-orang yang mengalami emosi negatif,
ini pemicu yang sangat kuat dan sangat berpengaruh dalam rutinitas sehari-hari.
Perasan bosan, kesepian, frustasi,
kebingungan dan keraguan sering menghasilkan rasa tidak nyaman dalam diri,
sehingga mendorong tindakan yang nyaris spontan dan sering kali tanpa
pertimbangan untuk meredam sensasi negatif tersebut. Tingginya penggunaan sosial media menandakan tingkat kecemasan dan
depresi yang tinggi. Ketersediaan akses yang tidak terbatas malah berdampak
kecemasan pada manusia. Apakah ini dapat menjadi tanda kemajuan, keberhasilan, kemenangan
manusia? Butuh berapa revolusi industri lagi untuk membebaskan manusia?. Revolusi
bioteknologi dan internet of things menjadi perangkap bagi kemanusian.
Orang mengejar kekayaan, kekuasaan, pengetahuan, harta
benda. Namun tidak peduli apapun yang mereka capai mereka tidak pernah puas.
(Politisi kita dengan semua yang di milikinya tetap saja korupsi
untuk memperkaya diri). Mereka yang hidup dalam kemiskinan mendambahakn kekayaan,
mereka yang telah kaya ingin semakin kaya, mereka yang mendapatkan 1 juta ingin
memperoleh 2 juta. Baik kaya maupun miskin mereka tidak pernah puas. Perilaku ketidak puasan beriringan
dengan keinginan (harapan) yang berdampak pada penderitaan hidup. Manusai hidup
alam tiga masa, masa lalu dan segala kenanganya, masa depan dengan segala
khayalan, dan masa kini yang tak pernah di jalani seutuhnya. Banyak antra kita hidup dalam lebih dari satu masa
yang akhirnya memberikan beban fikiran
dan kecemasan.
Penderitaan
tidak disebabkan oleh ketidak beruntungan, oleh ketidakadilan sosial, atau oleh
tingkah laku ilahi. Sebaliknya, penderitaan disebabkan oleh pola perilaku
pikiran seseorang. Ketika pikiran mengalami ketidak nyamanan, ia ingin terbebas
olehnya, apapun akan di lakukan, mengorbankan segalanya bila perlu. Namun bila
pikiran kita mengalami kenyamanan, kita berusaha mati-matian untuk
mempertahankanya. Kita takut kesenangan itu hilang. Hal yang sangat fundamental
ini luput dari para sarjana dan pemimpin dunia.
Bukankah sia-sia juga, kita mengenyam pendidikan dari
usia 4 tahun hingga usia tua dan mengeluarkan biaya yang sangat tidak murah
untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik, lembaga terbaik, buku yang terbaik.
Namun bila tujuan kebahagiaan itu tidak di dapatkan?. Kita semua banting tulang
dan berlomba mengejar kebahagiaan, segala cara dilakukan, ujungnya kecemasan
dan penderitaan yang kita dapat. Saat kita dalam keadaan cemas, otak
menghasilkan hormon epinefrin dan norepinefrin, hormon ini mekbuat detak
jantung lebih kuat, membuat kaki terasa dingin. Hormon ini menyiapkan tubuh
untuk "melawan atau lari" dalam situasi darurat. Kecemasan jangka panjang memiliki proses yang
berdeda. Hipotalamus di dalam otak mengirimkan sinyal pada kelenjar hipofisa
agar melepaskan sebuah hormon yang memberitahu kelenjar adrenal untuk
memproduksi hormon kortisol. Hormon ini akan berdedar dialiran darah, yang
berdampak pelemahan kinerja kekebalan tubuh. Secara kumulatif peningkatan
hormon kortisol dalam darah memberikan dampak pada kesehatan fisik. Sepertinya
kita telah di kutuk dalam penderitaan dan kecemasan.
Bila kita ingin terbebas dari penderitaan dan
kecemasan. Sebaiknya kita putar kemudi baik secara pribadi maupun kolektif.
Perbaiki sudut pandang, menanggalkan yang telah kita peroleh. Bila akar dari
penderitaan ini adalah keinginan yang ada pada pikiran manusia. Sudah
sewajarnya kita harus mengkontrol pikiran
kita. Penderitaan muncul dari nafsu
keinginan; satu-satunya cara untuk
sepenuhnya terbebas dari penderitaan adalah sepenuhnya dibebaskan dari
keinginan; dan satu-satunya cara untuk dibebaskan dari keinginan adalah
melatih pikiran untuk mengalami realitas sebagaimana adanya. Melihat tanpa
menilai. Psikologis manusia mempengaruhi faktor fisik, Pikiran yang menggerakan
tubuh, biologi manusia dikendalikan oleh perilaku. Tuhanpun tidak akan merubah nasib manusia,
bila ia tidak merubahnya sendiri. Tidak ada pendidikan untuk mencapai
kebahgiaan.
0 wicara:
Posting Komentar