Kusuma Ndaru
Mahasiswa Psikologi Untag Surabaya.
Semenjak negeri indonesia
di proklamirkan oleh soekarno dan hatta, kita telah berusaha menjadikan
anak-anak di negeri ini sebagai pribadi yang lebih biak dengan menyediakan
lembaga pendidikan. Tapi sejauh ini negeri ini kandas. Yang kita dapatkan dari sana
hanya pelajaran bahwa memaksa semua anak untuk memanjat tangga pendidikan yang
tak berujung takkan meningkatkan kualitas hidup manusia, melainkan hanya
menguntungkan pihak yang telah lebh dulu memanjat, lebih sehat, atau lebih
siap. Pendidikan di sekolah membunuh banyak kehendak manuisa untuk belajar
madiri. Pengetahuan diibaratakan komoditas, di kemas-kemas dan di jajakan, di
terima sebagai sejenis harta pribadi oleh yang menerimanya, dan selalau langkah
di pasaran.
Maraknya isu faham radikalisme di kampus plat merah, dapat menjadi indikasi bahwa beasiswa
yang bersumber dari pajak rakyat tidak tepat sasaran, bagaiman mungkin negeri
ini memberikan beasisswa pada calon-calon “Teroris”.
Meskipun dalam kuanitas jumlah ini sangat kecil. Namun tetap saja tidak ada
regulasi yang baik dalam penyaringan dan monef oleh kementrian terkait.
Tentu juga sangat di sayangkan ketika kampus “plat
merah” harusnya mengedepankan nasionalisme atau 4 pilar kebangsaan
(Pancasila, Bhineka tunggal ika, UUD 1945, dan NKRI) dalam pengajaranya malah
kecolongan faham radikalisme. Tidak hanya mahasiswa namun tenaga pengajarnya
pula terkontaminasi. Ini secara tidak langsung pemerintah berkontribusi dalam pembiakan radikalisme. Namun di sasu sisi memberantas faham radikalisme.
Negara ini memang
didirikan atas nama perbedaan, namun perbedaan yang mengedepankan kasi
kekerasan, permusuhan dan superioritas kelompok tentu tidak ada dalam sejarah
penderian negeri ini. Dapat di ingat saat meletusnya sumpah pemuda, beberapa kelompok
pemuda (jong java, jong ambon, jong
batak, jong sumatranen bond, jong islamietan bond, sekar rukun, perhimpunan
pelajar pelajar indonesia, pemuda kaum betawi, jong celebes serta perwakilan
dari etnis cina dan papua) telah bersumpah “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu,
tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang
satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia”. Jika ada yang menganggap bahwa sumpah pemuda
ini hanya sejarah omong kosong masa lalu serta tidak penting bagi kehidupan dan
harus di ganti dengan ideologi yang lain, maka sumpah pemuda secarah usia tidak
lebih tua dengan kitab yang kalin yakini, dengan ideologi yang kalian yakini.
Bila memang ideologi anda berhasil melepaskan masyarakat dari kesengsaraan,
ingat berapa banyak TKI kita yang harus di hukum mati di sana, demi untuk
membelah hak mereka sebagai mansuia?.
Sebagai akademisi
seahrusnya dapat berfikir secara kritis dan jernih, memang dengan teknik NLP
ataupun disonansi kognitif masih dapat menembus
dinding-dinding rasionalitas. Namun ini bukan persoalan cuci otak, untuk
manusia yang bobot kognitifnya berat, “berwawasan luas” cuci otak tidak dapat
begitu saja mempengaruhi. Keadaan ini di perparah dengan dosa mahasiswa sendiri
“tidak suka membaca, enggan bediskusi,
malas bersosialisasi, dan malas menulis”. Yang menjadikan kognitif layaknya
tandus bagai padang pasir. Manusia dapat menundukan diri kepada Tuhan yang
mahas Esa, tidak ada yang dapat melampui kekuatanya, apa lagi melawan cuci
otak?. Semua atas ijinya, kemurnian jiwa atau kesadaran masyarakat indonesi
patut di pertanyakan. Kesehatan mental masyrakat kita dapat dikatakan sangat
buruk, apalagi kaum muda yang di gadang-gadang sebagai bonus demografi,
bagaimana mungkin dapat membawah negeri ini ke zaman emas. Yang di besarkan
oleh angkatan pongah. Dengan pendekatan
semacam cuci otak saja pemudanya masuk ke luabng hitam ketidak jelasan.
Cara lain untuk selamat
dari jurang pengaruh radikalisme adalah mahasiswa harus memliki harapan, bukan
sekedar harapan yang bersifat resignasi, hanya ideologi semata karena
mengandung kepasifan (wacana). Manusai yang memiliki harapan kurang brminat
terhadap kenikmatan atau kejahatan “orang
yang memiliki harapan, memandang dan sangat menghargai semua tanda-tanda
kehidupan”.
Kapitalisme memberi
sumbangan terhadap kebebasan positif, pertumbuhan diri yang aktif, kritis dan
bertanggung jawab. namun pada saat yang sama ia membuat manusia semakain
kesepian, dan terisolasi sehingga menimbulkan Krisis identitas, menjadi salah
satu jalan manusia dapat terpengaruh dengan muda. Ketidak jelasan mengeani
peran dan fungsi kehidupanya. Sebuah kemampuan untuk mengatakan “saya” secara sah, “saya” sebagai pusat
struktur organisasi aktif dari seluruh aktifitas potensial yang benar-benar
milik saya. Krisis identitas disebabkan oleh semakin meningkatnya alienasi
dan reifikasi manusia. Rata-rata mansuai sekarang memperoleh rasa kepemilikian
identitasnya ketika melekat pada sebuah organisasi. sehingga muncul otoritas
yang mengatas namakan “ saya mengenal
anda, saya mengetahui apa yang terbaik bagi anda” . Sehingga muncul
patriotisme, sikap meletakkan keyakinan sendiri di atas kemanusiaan (postruth).
Dari pengkondisian
radikalisme yang di alami oleh mahasiswa, muncul sebuah keyakinan terhadap surga
dan tindakan yang dilegitimasi oleh ayat-ayat al quran. Keyakinan merupakan
kepastian terhadap sesuatu yang belum terjamin. Keyakinan bukan bentuk terlemah
dari kepercayaan atau pengetahuan. keyakinan yang mendorong untuk berbuat
destruktif, muncul akibat keyakinan irasional, “kebenaran tanpa memperdulikan apakah itu benar atau tidak”. Manusia
telah berubah menjadi mesin yang tidak berfikir dan tidak berperasaan. Akal mengalir
dari perpaduan anatara pemikiran rasional dengan perasaan. Jika dua fungsi ini
dipisahkan, pemikiran memburuk menjadi aktivitas intel;ektual yang menderita
schizoprenia dan perasaan memburuk menjadi dorongan neurosis yang merusak
hidup. Ada dua obyek destruktif manusia, mengahancurkan diri atau menghancurkan
orang lain, dalam kasus bom bunuh diri di surabaya, tentu pelaku memilih
keduanya.
Bagaimana mungkin ini
terjadi di dunia pendidikan, ada yang tidak beres dengan pendidikan kita.
Pendidikan yang notabene mencerdaskan kehidupan bangsa. Malah merusak kehidupan
bangsa? Bila adik-adikku ingin membangkitkan Islam, bangkitkanlah Islam secara
bijak seperti para leluhur Nusantara dulu, berkaryalah dengan baik untuk masa
depan kalian sendiri dan kemaslahatan umum, beribadahlah dengan benar meresap
ke dalam tanpa harus berambisi mempengaruhi orang lain dengan doktrin tetapi
berbuatlah yang simpatik, maka kalian akan dikenal dan dikenang sebagai hamba
Allah yang baik dan menjadi panutan dalam masayarakat.
Masyrakat indonesia butuh
pendidikan yang menyejahterahkan penduduknya. Masyrakat menjadi aktif dalam
arti penggunaan seluurh kemampuannya secara produktif. Penididkan yang
mengajarkan cinta, karena cinta adalah
kesatuan dengan suatu di luar dirinya, di bawah kondisi yang mempertahankan
keterpisahan dan integritas dri sendiri. Inilah pengalaman kebersamaan,
kerukunan, tidak ada kebutuhkan untuk membanggakan orang lain atau diri
sendiri. Cinta terdapat dalam pengalaman solidaritas manusia dengan sesama
ciptaan. Cinta yang produktif selalu menampilkan sikap perhatian, tanggung
jawab, rasa hormat, dan pengetahuan.
Namun kenyataanya ita tidak
sedang dalam jalan menuju pembebaan, melainkan sedang lari meninggalkannya. Kita
tidak sedang menumbuhkan individualisme, melainkan menuju masyrakat yang
semakin di manipulasi, kita tidak sedang menuju ke tempat dimana peta ideologis
kita menegaskan bahwa kita sedang bergerak maju. Kita sedang berlarian menuju
arah yang berbeda. Semenjak republik ini berdiri, kita masih belum bisa terbebas.
Tidak ada bedanya waktu zaman penjajahan belanda, masyrakat masih menderita. Apa
yang dapat di banggakan dari bonus demografi?, ingat pengangguran terbanyak ada
pada lulusan sarjana. Mau sampai kapan bangsa ini menderita?
0 wicara:
Posting Komentar