data-ad-format="auto"

INTERNET ADDICT


Oleh Kusuma Ndaru

F. Psikologi Untag SURABAYA





Sesuatu yang menyebabkan adiksi dan berdampak buruk bag tubuh menjadi larangan di indonesia, bagaimanapun alkohol dan narkoba bila di salah gunakan akan di kenakan pasal terkait penggunaan kedua barang tersebut. Bila pengguna berhenti secara mendadak atau kekurangn asupan narkoba, pengguna akan mengalami sakau. Maka dari itu narkoba menjadi suatu kebutuhan premier di samping kebutuhan makan. Misal makanan yang sudah menjadi kebutuhan pokok yang keberadaanya sesusia manusia mendiami bumi, masyarakat akan protes dengan lantang ketika sumber makanan terganggu, karea semua manusia mengkonsumsi makanan dan makanan membawah kenyamanan, bahkan muncul istilah “logika tanpa logistik, omong kosong”. Malah ketika melihat manusia berpuasa terlihat aneh bagi mayoritas masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan puasa.

Bandingkan dengan narkoba yang baru populer 100 tahun terakhir dan hanya secuil lapisan masyrakat yang mengkonsumsi narkoba dan membawah kedamaian dan kenyamanan, konsumen narkoba menjadi minoritas di tengah kehidupan dan di anggap aneh “sesuatu yang berbahaya bagi kesehatan di konsumsi” (apa bedanya dengan makanan yang di konsumsi setiap hari, mengandung racun pestisida dan zat lainya yang mengancam kesehatan tubuh, dan saat ini penyebab kematian terbesar disebabkan kelebihan asupan makanan). Di dalam bank data memori manusia, narkoba merupakan sesuatu yang masih awam untuk diterima. Di tambah lagi dengan pengkondisian melalui informasi di berbagai media bahwa narkoba membawah efek buruk ketika di konsumsi secarah berlebihan, sehingga masyarakat menolak penggunaan narkoba secara sembarangan. Hal ini terbalik dengan makanan, tidak ada pengkondisian bahwa makanan berbahaya. Betapa naifnya kepercayaan bilah mayoritas masyrakat memakai bersama gagasan atau keyakinan tertentu, perasaan tertentu, maka itu di anggap sebauh kebenaran.

Saat ini ada zat adiktif baru yang telah di dap sebagianbesar masyarakat, yang sering di sebut media. menimbulkan  kecanduan, kenyamanan, dan kerugian. Dalam perkembangan media, awal muncul koran dan hanya segelintir orang yang memilikinya, semakin banyak konsumen koran teknologi media berubah menjadi radio, berubah lagi menjadi televisi dan bioskop, lalu komputer, muncul koneksi internet masuk ke era smartphone. Perkembangan teknologi media juga tidak terlepas akan terkikisnya buta huruf di masyarakat. Mengakses media informasi yang berupa radio, televisi, surat kabar, smartphone, bioskop dan internet. Perkembangan teknologi dan meningkatnya melek huruf masyarakat. Fungsi dari media merupakan alat bantu “ketika mansuia memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas” maka di buatlah media, sebagai alat bantu. Hampir setiap jengkal waktu luang manusia modern terkungkung dengan smartphone dan internet. Warung kopi di surabaya membludak dengan penyedian koneksi wifi, dilema ini sempat muncul di film “filosofi kopi”. Semua orang sekarang dapat mengakses informasi apapun tanpa batas, dunia dalam genggaman.

Masyrakat saat ini  tidak di sodori informasi, tayangan literatur yang terbaik dari masa lalu maupun masa kini, media informasi masa kini di tambah dengan iklan, menjejali pikiran masyarakat dentgan sampah murahan yang tak ada kaitanya dengan realitas, dengan fantasi sadistis yang membuat orang yang tidak sepenuhnya terpelajar merasa sungkan untuk menikmatinya meskipun hanya sekilas. Sementara setiap fikiran orang tua dan anak muda terus di racuni, kita terus saja berjalan dengan penuh rasa bahagia, seakan tidak melihat adanya unsur-unsur ‘Imoralitas” dalam hal-hal tersebut. Kritikan semacam apa lagi yang telah di tudingkan kepada pemerintah untuk membiyayai program tayangan uyang dapat memberi penenerangan dan dpat menjernihkan pikiran-pikiran orang, namun jalan keluar tersebut berbenturan dengan amarah dan tudingan pihak yang mengatas namakan kebebasan dan idealis.

Konten tayangan di media televisi dan kampung maya berisi guyonan alay, tidak mendidik dan setingan, menandakan bahwa masyrakat indonesia mudah di tipu dengan acara televisi yang tidak realistis. Acara semacamini memberi isarat ada yang tidak beres dari masyarakat kita. Apakah beban kehidupan terlalu berat sehingga di butuhkan hiburan lawakan semacam itu.. Konten semacam ini dapat menjadi “akibat”  atau malah menjadi “sebab”. Satu satunya petunjuk kesehatan mental masyarakat indonesia saat ini adalah kasus bunuh diri, kekerasan dan ketergantungan. WHO mencatat pada tahun 2017, tingkat depresi dunia naik sebesar 18% sejak 2005. Di indonesia pravelensi penderita depresi sebesar 3,7% dari populasi atau sekitar 9 juta penduduk indonesia mengalami depresi dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa. Bahkan 905 penyakit fisik merupakan psikosomatis. Ini jumlah yang terdata yang menandakan adanya ketidak seimbangan tatanan kejiwaan masyrakat. Dengan perkembangan teknologi yang pesat, dunia dalam genggaman gagal dalam memuaskan kebutuhan  terdalam manusia. Apakah tidak ada kesalahan yang mendasar di dalam cara hidup dan tujuan-tujuan yang mau kita kejar?

Satu indikator melihat kesehatan mental masyarakat “Kebosanan adalah kejahatan paling besar kedua di dunia. Menjadi membosankan adalah kejahatan terbesar pertamanya-Jean Baudrillard”. Dengan gagasan ini mari kita lihat aktivitas masyrakat saat ini, manusia kususnya indinesia masih belum siap menerima teknologi. Dalam keseharian kebosanan melanda yang menjadi pelarian adalah aktivitas di kampung maya melalui akun-akun instagram, facebook, twitter, dan akun sosial media lainya. Masyrakat menjadi kompulsif dengan melihat konten-konten sampah yang hanya memenuhi memori. Memanfaatkan sifat dasar manusia “keingintahuan”. Saat ini penentu kebenaran tanpa mengindahkan etika dan moral serta verifikasi kebenaran atas informasi, dalam adalah para netizen yang merupakan manusia hiperrealitas, para budak teknologi. Dengan kenyataan seperti ini muncul fenomena secreto yang merupakan wadah untuk menampung opini masyarakat mengenai pribadi seseorang. Begitu naifnya manusia ini dengan berbagai modeling melalui media, viralkan, trending, dan lainya sehingga masyarakat akan mengikutinya.

Indikator lain ketidak sehatan mental masyrakat, dapat dilihat dari peningkatnya jumlah wisatawan lokal dan obyek wisata baru yang di dukung oleh instagram serta tagar back to reality menunjukan bawah ada sesuatu yang tidak beres dengan penduduk indonesia. Aktivitas Berwisata apakah hanya sekedar menikmati keindahan atau melepaskan beban fikiran?. Tagar back to reality seakan menggambarkan keengganan untuk kembali pada aktivitas nyatanya. Keluhan liburan cepat berlalu tidak jauh beda. Pemuasan kebutuhan sandang, pangan, dan papan belum memadai untuk membuat manusia bahagia. Perkembangan teknologi dalam mempermuda kehidupan pun tidak dapat membuat manusia bahagia, malah teknologi menjadi salah satu media penyebaran virus-virus kognitif yang membuat manusia semakin berimajinasi dalam ketakutan dan kecemasan.

            Dalam perkemabangan manusia narsisme primer adalah gejala normal yang sesuai dengan perkembangan mental dan fisiologi anak. Namun narsisme muncul di kehidupan berikutnya ‘narsisme sekunder’saat manusia tumbuh, dunia mempengaruhi pribadi melalui media teknologi sehingga gagal mengembangkan kemampuan mencintai atau kehilangan kemampuan untuk itu. Sebagai pribadi yang kacau secara narsistis, hanya ada satu realita dalam dirinya. Yaitu jalan pikiranya , perasaan dan kebutuhanya sendiri. Ini berkaitan dengan selfish gen manusia. Dunia luar tidak di hayati atau di rasakan secara obyektif. Apa yang ada dalam fakta hidupnya adalah kondisi dan kebutuhan itu sendiri. layaknya kpopers yang sekarang menjadi endemik di indonesia, fanatisme tanpa batas, lagi-lagi fanatisme ini di dapat melalui media teknologi.  Fakta bahwa kegagalan total untuk menghubungkan diri dengan dunia adalah ketidak sehatan mental. Hanya ada satu bentuk produktif yakni cinta, yang memenuhi syarat dengan membiarkan orang untuk tetap mempunyai kebebasan dan integritas pribadi.

            Indikator lain adlah budaya konsumtif manusia, hampir setiap tahun gaji buruh naik, namun kwaliotas hidup fisik mereka tetap sama. Manusia tidak bisa hidup statis, karena kontradiksi pikiran mendoorngnya mencari keseimbangan, harmoni baru, memuaskan kebutuhan hewani yang berisi harapan-harapan yang tak ada ujung kepuasanya.

Saat ini zaman “galaksi simulakra”, saat manusia sudah tidak mampu lagi memilih  kebutuhananya, membedakan antara apa yang di inginkan dan apa yang di butuhkan menjadi persoalan yang sulit. manusia telah di kondisikan, di modeliing atau di simulasikan melalui konten yang ada di media, bila ingin cantik gunakan ini, bila ingin ini anda harus pakai ini, harus seperti ini, merupaka tanda hilanganya jati diri dan identitas manusia. Para pekerja telah mengurangi jam kerja hanya 8 jam dalam sehari, separoh dari jam kerja yang berlaku sertaus tahun yang lalu. Kita sekarang memiliki banyak waktu luang, yang sangat di damapkan oleh buruh abad 19. Namun apa yang terjadi? Kita tidak tahu bagaiman cara menggunakan waktu senggang yang di dapat, kita malah mencoba menyia-yiakan waktu yang sudah kita hemat. Orang-orang yang tidak menggunakan media modern malah di anggap aneh, memang mayoritas manusia menggunakan media modern. Untuk melihat dampak yang di timbulkan oleh media. Sekali lagi pendidikan sebagai gerbang penderitaan manusia, menyiapkan masyrakat agar sakit. Dulunya nenek moyang kita yang buta huruf membaca gejala-gejala alam, belajar dari alam untuk mendapat pencerahan, kebahagaiaan, kedamaian. Namun saat ini manusia kehilangan kemampuan itu, tertutupnya mata kebijaksanaan menjadi kebahagian bagi pihak yang di untungkan, siapa mereka? Tentu mereka yang menyediakan teknologi tersebut.

Ciri umum masrakat modern adalah individualitas yang diperkuat dengan hadirnya media, nilai sangat bertentangan dengan nilai dasar budaya negeri ini “gotong royong”. Semua di jamin oleh negara, kaluarlah dari sistim primitif dan bergabunglah dengan negara, ketika sakit negara akan mengurus, ketika membutuhkan uang, bank akan mengurus keuanganmu, keamananmu di jamin oleh negara.  Di mana kebiasan ini dulu masih di pegang oleh keluarga dan masyarakat sekitar. Saat ini nilai-nilai gotong royong sedang di cabut dari akarnya sehingga menjadikan manusia sendiri yang meningkatkan kecemasan walaupun sudah ada asuransi yang akan mengcover, namun kebutuhan sosial akan bercengkrama tidak dapat di gantikan oleh hadirnya sosial media. Meski manusia dapat merasakan sosioemosi dari berkirim pesan maupun video call, namun sentuhan, tatapan masih belum dapat tergantikan. Perasaan yang menyertainya, yang membawah kedamaian dalam tubuh manusia. Tidak bisa tergantikan oleh kehadiran boneka robot yang sudah jamak di temukan di jepang sebagai teman hidup.

Siapa yang harus bertanggung jawab? Penderitaan ini tidak akan terlihat saat ini juga, karena masih ada asupan zat adiktif, namun bila listrik di padamkan, internet dan akses media di putus satu bulan, kita akan tahu siapa yang akan sakau dan kelimpungan. Atau coba dalam satu minggu saja tanpa menggengam menggunakan smartphone dan semua perangkat teknologi anda!, adakah kecmasan dari diri anda atau seperti bayi yang kehilangan puting susu ibunya?. Lalu apa yang dapat di lakukan? Apakah kembali kezaman primitif mengunci diri dari kemajuan zaman seperti suku anak dalam dan baduy?, kembali hidup dengan alam, menyiapakan sendiri kebutuhan hidup. Tentu kita masih punya nalar untuk di gunaka untuk mempertimbangkan pilihan, menjadi terasing atau diakui oleh masyarakat.



0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE