Oleh : Seno Baskoro
SMAN 5 Surabaya
SMAN 5 Surabaya
Alunan melodi mainan anak-anak di sebuah minimarket mengalun pelan, menemani diriku duduk mendengarkan.
Lagu itu tak aturan, tak jelas. Bagaimana memang kesan yang ditangkap dari lagu anak-anak ?
Ya, meninabobokkan. Ya, memanjakan.
Perlahan alunan tersebut berubah, menjadi susunan alfabet kecemasan yang menghinggapi sanubariku. Tak tahu mengapa, tiba-tiba sebuah badai menghinggapi samudera pikirku.
Semacam kemelut dialektika, lengkap dengan bab-babnya. Layaknya otakku sedang menghisap peristiwa Babad Diponegoro atau Perang Barathayudha dalam sel-selnya.
Sang Wenang, Sang Kuasa seperti ingin bicara denganku lewat alunan lagu-lagu itu. Ada semacam media yang digunakan oleh Tuhan untuk menampar keras pipiku. Entah itu pipiku atau hatiku yang kaku ini. Setiap atom tubuhku bergidik ngeri, dan khawatir. Ya, khawatir.
Alunan lagu-lagu tersebut seperti berusaha mengatakan kepadaku, atau mungkin memakiku.
"Hai, kau, si pintar ! Kau cuk, kau ! Ya, yang tiap hari seragamnya rapi dan otaknya encer. Tahu apa kau tentang hidup enak ?" Mungkin itu yang sedang alunan lagu itu berusaha katakan kepadaku.
Ini masih mungkin. Tapi kutahu dia ada benarnya juga. Orang yang merasa pintar, harus diuji seberapa dia pernah tahan perihnya kebodohan, baru ia bisa dikatakan pintar. Begitu juga orang hidup enak. Tanpa kesusahan, tak ada keenakan.
Lagu yang terdengar hidup itu seperti mau menjendul-jendul kepalaku. "Haha, kau tahu anak sekolahan ? Tahumu banyak. Mikirmu sedikit."
Tak tahu mengapa, aku yang ngeyelan ini seperti terbisukan. Diam saja sekian lama. Berusaha menutup kuping, tapi ternyata tak kuasa juga. Sialan.
"Anak ini, yang sedang ada di atasku, dia sekarang disayangi, dikeloni bapak ibunya, digadang-gadang. Sebentar lagi, dia akan kenal dunia. Teman sekolahnya banyak, akan kenal dia dengan cium-ciuman dengan lawan jenisnya. Dipuaskannya nafsunya sampai tak ada lagi kepuasan bagi dirinya. Akan diminumnya obat-obatan. Diminumnya obat-obatan sampai siwer matanya. Meleknya susah, sakaw dari malam sampai pagi."
Aku hanya terdiam saja. Terdiam membisu. Khawatir, ketakutan. Sambil terus melihat anak yang berada di atas mainan itu. Naik turun mengikuti gerak mainan dengan lagu-lagunya.
Lagu itu belum berhenti juga. Belum puas rupanya ia ledek-ledek diriku.
"Ini bukan masalah karakter cuk, kau tahu ? Haha, kau tahu mengapa ? Karena goblok, dunia tak semunafik buku-buku yang orang pintar baca."
Lalu alunan lagu itu berhenti. Anak tersebut turun dari mainan. Menyisakan diriku sendiri yang tak kuasa mengutuki diri sendiri.
0 wicara:
Posting Komentar