Ini sepenggal cerita,
tentang Di yang suka donat
dan De yang suka salad.
Datang pada si juru syair,
melalui sesobek koran bekas,
tertiup angin siang, gerah.
Dikabarkan pada secuil kisah itu,
Di sangat mencintai lampu-lampu kota
berpendar nyala membilas senja: Biru.
De amat menghargai burung-burung,
berkicau di pinggiran pagi: merona.
Di gampang menangis,
hanya oleh roman picisan.
De mudah teriak-teriak,
cuma karena sedikit ketidak beresan.
"De, jangan marah-marah dong.."
"Kamu yang mestinya komitmen, Di.."
Beruntungnya, bumi memaafkan mereka,
karena Di dan De suka tembakau,
diiring kopi seduh panas-panas,
pada cangkir-cangkir menganga.
Di dan De habiskan menit-menit, malas merambat,
membincang kekacauan pojok ruang sejarah,
yang berceloteh tentang cinta jauh mereka,
Asmara masa kini.
Ah, modernitas pun butuh rasa, De.
Iya, Di. Aku sepaham dibelakangmu.
Sesobek koran bekas, tertiup angin sore.
Membawa roman Di dan De, pergi menjauh.
0 wicara:
Posting Komentar