data-ad-format="auto"

Takdir mati dan tak pernah makan nasi padang

oleh Ragil Ajeng Pratiwi




Malam semakin menunjukkan keliaranya, suara aktivitas di siang hari seakan hilang dengan bergantinya malam yang memaksaku agar tetap berdiam didalam rumah. Suara malam tersebut selalu menarik perhatianku untuk mencari. “Sebenarnya apa yang terjadi di luar sana?,” tanyaku yang tidak akan pernah terjawab karena Ayahku sangat melarang. Rasanya kuharus menolak kata hatiku yang tak mengenal lelah, meskipun mengarungi samudera ini. Mustahil!! dari ucapku tadi, karena  bagaimanapun raga dan jiwa ini juga butuh istirahat. Disini kehidupanlah yang melatihku untuk mengikuti takdir yang sudah ditentukan. Bahwa aku memang terlahir di rumah jalanan bumi yang malamnya sangat keras, kata Ayahku mendongengkan dunia malam padaku setiap sebelum tidur.
   
Tidak ada waktu berselang 10 menit, ada yang jauh lebih menarik perhatianku. Agaknya indra mataku jauh tertarik dengan bintang yang memancaran germilang di sela-sela jendela tempat tinggalku. Mungkin melihat bintang bersinar sudah biasa untuk mereka yang berkehidupan malam. Namun, bagiku bintang punya pesan dan rasa rindu tersendiri, karena bagiku bintang adalah penghubungku untuk ibuku yang ada disana. “Lama-lama juga bosan, karena mustahil ibuku membalas senyumku ini hanya lewat bintang tanpa adanya doa yang kupajatkan,” kata hatiku yang menjadi teman obrolku setiap malam, menyadarkanku dari lamunan dan rasa kantuk ini. Iya, rasa kantuk yang tak bisa ku bohongi ini, memang harus kuturuti untuk segera tidur. Tapi tetap saja, ku harus menunggu Ayahku yang akan segera pulang dirumah yang beratapan lorong jembatan ini. Itu sebabnya Ayahku sangat melarang keras aku untuk tertidur. Karena secara otodidak ayahku juga mengajarkanku untuk melindungi diri dari dunia malam yang tak kutau itu.
              
          Seusai itu lamunanku berganti menjadi kesal mengapa aku lahir dikehidupan ini, aku jadi mengingat pagi hari tadi, sewaktu kukumpulkan bekas wadah minum disebrang jalan tempat banyak orang kaya berkumpul. Setiap harinya rasa penasaranku terlintas saat kulihat rumah makan yang bertuliskan masakan padang di depannya. Akupun tak tau mengapa pemilik rumah makan tersebut memberikan nama masakan padang pada rumah makananya. Atau mungkin, aku ini juga orang yang paling bodoh di Kota ini. Karena tak tau alasan mengapa pemilik rumah makan tersebut memberikan nama masakan padang. Setiap malam pertanyaan yang selalu menghampiriku, lantaran tak pernah ku bisa masuk rumah makan tersebut, bahkan mencicipi masakan padang yang tak kutau itu bagaimana rasanya. “oh,iya kenapa pikiranku sangat bercampur sekali, atau mungkin karena aku belum makan sehingga amarahku muncul,” jelas kata hatiku agar menenangkan diriku karena kurasa Ayah sudah terlalu lama meninggalkan seorang gadis cilik berumur 14 tahun di rumah beralaskan bumi ini. Suasana malam kurasa sudah mulai berganti pagi, meskipun tak ada jam dirumahku. Aku bisa mengerti kondisi waktu yang terus berputar ini. Karena dalam kemiskinan ini, aku terbiasa mengenal waktu pagi,siang,sore dan malam dengan hanya hembusan udara. Mungkin, dalam hal menerka-nerka kerasnya kehidupan ini. Aku jauh lebih mahir dari yang lainnya, dari orang kayapun yang katanya pintar bisa mendirikan bangunan gedung tinggi.

            Singkat cerita kudengar dentuman keras dari arah sebrang jalan tersebut, kurasa tempatnya berada didekat rumah makan nasi padang itu.  Selang berganti juga terdengar suara tembakan bertubi-tubi dibalik itu. Akupun melawan rasa takutku dan kuacuhkan ayah yang melarangku untuk keluar rumah kerdus ini. Ketika aku keluar betapa kagetnya diriku ternyata benar, rumah makan masakan padang tersebut telah terjadi pengeboman. Akal sadarku masih belum percaya melihat itu, kulihat korban berjatuhan dimana-mana. Orang kaya-kaya tersebut telah mati sia-sia karena dibunuh secara jihad. Setelah niatku maju untuk menolong, kulihat Ayah mendatangiku. Ayah juga menjadi korban dari rumah masakan padang itu, namun kulihat tak sebegitu parah dari korban lainnya. “Nak, maafkan Ayah terlambat tadi karena Ayah sempat ditudu merusak mobil orang kaya yang sedang makan dimasakan padang itu. Waktu Ayah hendak membantu paman Beni membenahi becaknya disebelah mobil orang kaya itu tiba-tiba supirnya tidak sengaja menyenggol becak paman Beni. Orang kaya itu turun dan memaki-maki Ayah dan Paman Beni serta meminta ganti rugi. Namun, tidak lama ada seorang budiman yang membantu Ayah dan Paman Beni mengganti mobil yang lecet itu  dengan beberapa ratus uang. Dan baik hati pula seorang Budiman itu ternyata setelah itu ia memberikan nasi bungkus masakan padang kepada Ayah dan Paman Beni. Sementara seorang Budiman itu pergi, dan orang kaya tadi masuk kedalam rumah masakan padang, tak lama rumah makan tersebut meledak,” jelas Ayahku panjang lebar yang sudah pasti tak kuhiraukan mengapa ia terlambat pulang kerumah. Segera kubawa masuk Ayah kedalam rumah kerdus kami, agar ku obati lukanya. Sambil berfikir didalam hatiku betapa Tuhan menampar jiwaku ini karena tak pernah akan bersyukur dengan kehidupan ini. Bahwa satu nasi bungkus nasi padang, sangat tak berharga dibandingkan satu nyawa manusia yang telah mati dalam keadaan hendak mau makan dirumah makan masakan padang itu.

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE