OLeh: Ismail
“Dia yang mentetahui dirinya
sendiri, akan mengetahui Tuhan,”
Selasa 19 januari 2016,
Tak banyak hiruk-pikuk lalu lalang pelajar yang berkeliaraan dikampus. Nampak
sunyi dibalik kemegahan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Rerumputan dibawah pohon sawo pun sudah mulai
lebat, kelak pohon sawo ini oleh tjedikiawan dan pujanga sawo dibaratkan sebagai
“pohon KUN” baginya. Dibawah pohon sawo ini mereka berdiskusi dan
berkelakar, dan mereka yang duduk disisni adalah para tjendikiawan dan pujanga yang
memiliki kelaianan kusus dan tak dimiliki oleh kalayak umum. tak jarang,
beberapa tjendikiawan dan pujanga datang,singah dan pergi dibahtra KUN (SAWO),
sekedar hanya untuk beristirahat, berkelakar, hingga belajar bersama dibahtra
KUN. Tak ada syarat dan aturan kusus untuk mereka yang singah di bahtra KUN
ini, tak ada yang memiliki kewenagan untuk mengarahkan juga mengatur-atur
setiap insan yang ada didalamnya, tidak ada satu hukum pun yang mampu mengatur
pohon KUN, pohon KUN berjalan sebagaimana mestinya bersama kesadaran dari
insan-insan yang terdampar dibahtra KUN itu sendiri. Malam ini tak banyak
tjendikiawan dan pujanga yang singah dibahtra KUN. ditengah kesunyian kampus, pohon KUN masih
memancarkan cahaya ke indahanya. Segelintir tjendikawan dan punjanga ini masih
berkelakar juga berdiskusi. Malam ini al-ghozali pun mampir dibahtra KUN,
membawa tanya dalam kimia kebahagiaan, pertanyaan al-ghozali pun jadi
perbincangan serius diantara sang tjendikiawan dan pujanga yang terdampar di
bahtra KUN malam ini.
Siapakah anda, dan dari mana anda datang?
Kemana anda pergi, apa tujuan anda datang lalu tinggal sejenak di sini, serta di
manakah kebahagiaan anda dan kesedihan anda yang sebenarnya berada? Sebagian
sifat anda adalah sifat-sifat binatang, sebagian yang lain adalah sifat-sifat
setan dan selebihnya sifat-sifat malaikat. Mestai anda temukan, mana di antara
sifat-sifat ini yang aksidental dan mana yan gesensial (pokok). Sebelum anda
ketahui hal ini, tak akan bisa anda temukan letak kebahagiaan anda yang
sebenarnya.
Sebelum menjawab pertanyaan ini al-ghozali
berkata bahwa ada tiga tingkatan sumber pengetahuan yang pertama alam emperisme;
pengetahuan yang bisa di serap melalui lima panca indra manusia, kedua alam
Rasionalisme; pengeatahuan yang berada di dalam alam pikir manusia dan ketiga alam Intuisi atau yang ada didalam
hati manusia. Al-ghozali berkata bahwa untuk menganali diri sendiri yakni menyadari
bahwa anda terdiri dari bentuk luar yang disebut sebagai jasad, dan wujud dalam
yang disebut sebagai hati atau ruh. Yang saya maksudkan dengan “hati” bukanlah
sepotong daging yang terletak di bagian kiri badan. Untuk melanjutkan
peperangan ruhaniah demi mendapatkan pengetahuan tentang diri dan tentang Tuhan.
al-ghozali mengambarkan jasad sebagai suatu kerajaan, jiwa (ruh) sebagai
rajanya serta berbagai indera dan fakultas lain sebagai tentaranya, Nalar bisa
disebut sebagai wazir atau perdana menteri, nafsu sebagai pemungut pajak dan
amarah sebagai petugas polisi. Dengan berpura-pura mengumpulkan pajak, nafsu
terus-menerus cenderung untuk merampas demi kepentingannya sendiri, sementara
amarah selalu cenderung kepada kekasaran dan kekerasan. Pemungut pajak dan
petugas polisi keduanya harus selalu ditempatkan di bawah raja, tetapi tidak
dibunuh atau diungguli, mengingat mereka memiliki fungsi-fungsi tersendiri yang
harus dipenuhinya. Tapi jika nafsu dan amarah menguasai nalar, maka – tak bisa
tidak – keruntuhan jiwa pasti terjadi. Jiwa yang membiarkan fakultas-fakultas
yang lebih rendah untuk menguasai yang lebih tinggi ibarat seseorang raja yang
menyerahkan kehancuran kerjaanya.
Selanjutnya al-ghazali berkata bahwa jiwa
rasional di dalam manusia penuh dengan keajaiban-keajaiban pengetahuan maupun
kekuatan. Dengan itu semua ia menguasai seni dan sains, ia bisa menempuh jarak
dari bumi ke langit bolak-balik secepat kilat, dan mampu mengatur lelangit dan
mengukur jarak antar bintang. Dengan itu juga ia bisa menangkap ikan dari
lautan dan burung-burung dari udara, serta bisa menundukkan binatang-binatang
seperti gajah, unta dan kuda. Pancainderanya bagaikan lima pintu yang terbuka
menghadap ke dunia luar. Tetapi ajaib dari semuanya ini, hatinya memiliki
jendela yang terbuka ke arah dunia ruh yang tak kasat-mata. Dalam keadaan
tertidur, ketika saluran inderanya tertutup, jendela ini terbuka dan ia
menerima kesan-kesan dari dunia tak-kasat-mata; kadang-kadang bisa ia dapatkan isyarat
tentang masa depan.
Hatinya bagaikan sebuah cermin yang memantulkan
segala sesuatu yang tergambar di dalam Lauhul-mahfuzh. Tapi, bahkan dalam
keadaan tidur, pikiran-pikiran akan segala sesuatu yang bersifat keduniaan akan
memburamkan cermin ini, sehingga kesan-kesan yang diterimanya tidak jelas. hati
bisa digambarkan sebagai sumur dan pancaindera sebagai lima aliran yang dengan
terus-menerus membawa air ke dalamnya. Agar bisa menemukan kandungan hati yang
sebenarnya, maka aliran-aliran ini mesti dihentikan untuk sesaat dengan cara
apa pun dan sampah yang dibawa bersamanya mesti dibersihkan dari sumur itu.
Dengan kata lain, jika kita ingin sampai kepada kebenaran ruhani yang murni,
pada saat itu mesti kita buang pengetahuan yang telah dicapai dengan proses-proses
eksternal.
Seperti yang diceritakan tjendikiawan dan pujaga
sawo mengenai cerita pewayangan yang mengambarkan pada pupuh werkudoro “bima”
yang diberi tugas oleh dhurna untuk masuk kedalam samudra (lautan), meski
werkudoro “bima” dilarang oleh sang ibu untuk masuk kedalam samudra, bima tetap
melaksanakan tugas dari sang Guru Dhurna untuk masuk kedalm samudra, masuklah
bima kedalam samudra itu, dalam keadaan pingsan dikedalaman samudra yang luas
dan dalam, bima bertemu dengan cerminan dari wujudnya yang lebih kecil, yang
kelak cerminan itu disebut dewa RUCI kemudian diartikan sebagai RUH SUCI.
samudra yang luas dan dalam diartikan sebagai pengetahuaan yang luas dan dalam. Maka dalam kisah ini dapat di sempulakan bahwa untuk mencapai RUH SUCI, maka bima harus masuk kedalam samudra pengetahuan yang luas, hinga tertutup seluruh indranya dan akalnya, ketika bima pingsan, dan tertutuplah seluruh panca indranya dan akalnya saat itu terbukalah pintu intutifnya ketika bima bertemu dengan jagad kecilnya yang disebut-sebut dalam dunia pewayangan sebagai dewa RUCI “ Ruh Suci”.
samudra yang luas dan dalam diartikan sebagai pengetahuaan yang luas dan dalam. Maka dalam kisah ini dapat di sempulakan bahwa untuk mencapai RUH SUCI, maka bima harus masuk kedalam samudra pengetahuan yang luas, hinga tertutup seluruh indranya dan akalnya, ketika bima pingsan, dan tertutuplah seluruh panca indranya dan akalnya saat itu terbukalah pintu intutifnya ketika bima bertemu dengan jagad kecilnya yang disebut-sebut dalam dunia pewayangan sebagai dewa RUCI “ Ruh Suci”.
Al-ghozali pun pergi dari bahtra KUN, dengan
senyum diwajahnya. sedangkan lampu-lampu kampus satu persatu mulai mati, dan waktu pun sudah menujukan kuasa-Nya pada
tjendikiawan dan pujanga sawo, mata melaksanakan kehendak-Nya. Malam ini KUN memberiku
arti yang tak ku ketahui dan mengenalkanku pada diriku, jalan pengetahuan harus
tetap ditelusuri hingga kedalaman samudra menemukan jawaban diri ini.

https://orcid.org/0000-0003-2892-5411
0 wicara:
Posting Komentar