data-ad-format="auto"

TAKDIR GETIR IBU

Achluddin Ibnu Rochim

FISIP Untag Surabaya


Sebuah kesalahan acap kali diikuti dengan kutukan. Lalu ramalan datang menegaskan, setelahnya.

Sebuah kutukan tidak pernah pandang bulu. Ia seperti bius yang ditebar, siapa saja dapat terkena, tidak terkecuali seorang ibu yang tidak berdosa pun ikut menanggung kutukan.

Adalah Laios, Raja Thebes, yang jatuh hati pada Khrisippos pemuda yang teramat tampan, hingga penuh nafsu, tega menculik dan memperkosanya.

Malu menanggung aib, dalam hubungan sesama jenis, Khrisippos bunuh diri.

Pelops, ayah kandung dari Khrisippos amat murka oleh tragedi ini. Pelops lantas menyeru pada para dewa mengutuk Laios berikut isteri dan seluruh keturunannya.

Lalu, sebuah ramalan pun datang bertitah: Akan tiba saatnya seorang anak jatuh cinta pada ibunya. Setelah sang anak membunuh ayah kandung sendiri.

Peramal itu, adalah Orakel dari sebuah tempat bernama Delphi, yang telah menubuat masa depan Laios, sang raja: Bahwa ia akan tewas di tangan anak sendiri dan Orakel juga menggariskan nasib Iokaste, sang permaisuri. Bahwa Iokaste akan menjadi seorang ibu yang tubuhnya dicumbu dan dijamah oleh anak kandungnya sendiri. Dari persenggamaan itu akan lahir keturunan yang saling membunuh satu sama lain dalam perang saudara memperebutkan tahta Thebes.

Di akhir petuahnya, Orakel mengharap agar Raja tidak berhubungan dengan permaisuri.
Iokaste, mendengar semua ini dengan jantung hancur berkeping-keping. Ia merasa para dewa telah meninggalkannya. Ia diperlakukan tidak adil oleh garis hidup yang telah menujum dirinya itu.

Dan memanglah, akhirnya Iokaste sebagai seorang permaisuri, bertahun-tahun tidak dapat merasakan diri sebagai wanita seutuhnya. Laios tidak pernah mau mendekatinya lagi. Ia merasa dirinya amat najis.

Apa artinya menjadi seorang perempuan? seorang isteri? jika ia tak diperkenankan merasakan lelaki, suaminya?
Iokaste menanggung derita oleh sebuah dosa yang tak pernah ia lakukan.
Iokaste menjadi pesakitan oleh sebuah kutukan yang ia tidak tahu mengapa ia ikut dikutuk, ia menjadi barang pantangan bagi suami, seolah ia racun yang harus dijauhi, dan semua itu karena oleh sebuah ramalan.

Iokaste tidak paham mengapa ia diharuskan mengambil peran dalam ramalan yang tidak dimengertinya itu.
Siapakah yang akan meneruskan kursi tahta Thebes? Jika bukan anak yang lahir dari rahimnya? Haruskah kekuasaan terwariskan pada anak raja dari hubungan dengan perempuan lain? Lalu untuk apa ia menjadi permaisuri jika tidak boleh melahirkan putera mahkota?

Namun, jika raja menggaulinya, bukankah ia akan melahirkan putera mahkota? Bukankah, ia akan menjadi ibu yang ada dalam ramalan itu? Ibu yang dijamah anak sendiri lalu melahirkan keturunan di mana mereka justeru akan menjadi biang petaka kerajaan?

Ah, dewa. Untuk apa aku menjadi perempuan?

Pada ujung kesadarannya, Iokaste memilih, lebih baik ia tidak pernah melakukan hubungan suami isteri dari pada ia menjadi sumber terjadinya takdir mengerikan di ramalan itu.
Tapi takdir tak pernah putar balik, juga belok arah. Takdir selalu lurus meruncing seperti belati menikam jantung nasib anak manusia. Dan datanglah hari naas itu, sang raja, nampaknya lupa, di bawah pengaruh anggur memabukkan, ia mendekati isterinya. Iokaste sekuat tenaga menolak, ia menghindar dengan menghiba-hiba, tapi sang raja sudah hilang kesadarannya entah di mana, ia tetap menyetubuhi istrinya dengan paksa. Iokaste diperkosa oleh suaminya sendiri, kekerasan seksual paling purba dalam sejarah kekerasan rumah tangga terjadi. Hingga Iokaste hamil dan lahirkan seorang putra.

Di tengah kelahiran sang jabang bayi, Raja Laios ingat akan ramalan, Laios perintahkan membuang bayi itu di Gunung Kitheron agar tewas dengan sendirinya.
Direbutnya bayi itu dari gendongan ibu.

Iokaste menangis menyayat seperti lolongan serigala di malam purnama. Demi menyaksikan kaki si bayi diikat oleh sang raja untuk dipersiapkan di makan binatang buas saat di buang nantinya. Tangis seorang ibu yang melahirkan buah hati. Tangis perempuan yang tidak rela anak kandungnya di antar pada kematian di depan matanya, tanpa ia bisa berbuat apa-apa.
Iokaste tak berdaya. Iokaste ingin tak pernah ada. "cabut aku punya nyawa, ya dewa".

Tapi Dewa rupanya belum selesai dengannya.
Di gunung pembuangan. takdir mengantarkan bayi merah itu pada gembala kemudian mempersembahkannya pada Polibos, raja dari Korinthos. Bayi yang kelak tumbuh menjadi seorang pemberani dan cerdas ini dipanggil dengan nama Oedipus.

Dikisahkan, pemuda Oedipus yang dalam perjalanan dari Delphi ke Thebes, berpapasan dengan raja Laios pada sebuah jalan sempit. Pengawal raja Laios memerintahkan Oedipus minggir dan memberi jalan untuk raja.
Oedipus menolak. Lantas pecah pertempuran di antara mereka, dengan hasil, tewasnya pengawal dan raja. Laios terbunuh oleh Oedipus, anak kandungnya sendiri.
Ditinggal suami, Iokaste seperti kehilangan pegangan. Dulu bayi yang direnggut darinya, sekarang suami yang pergi tak kembali.
Ibu tanpa anak. Permaisuri tanpa raja, isteri tanpa suami. "bagaimanakah nasibku nanti"

Sepeninggal raja, Thebes menghadapi bencana. Banyak warga Thebes terbunuh oleh Sphinx, mahluk bersayap dan berkepala perempuan tapi bertubuh singa. Penduduk Thebes dibantai Sphinx karena tidak bisa menebak teka-teki yang ditanyakannya, “Apakah yang pada pagi hari menggunakan empat kaki, pada tengah hari menggunakan dua kaki dan pada senja hari menggunakan tiga kaki?”

Tak seorangpun sanggup menjawab, maka diumumkanlah sayembara, barang siapa yang mampu menjawab teka-teki Sphinx, akan diangkat jadi raja Thebes dan menikah dengan janda dari raja Laios, si Iokaste.

Ialah Oedipus yang datang menemui Sphinx, pecahkan teka-teki, dengan menjawab: Manusia. Ketika bayi, manusia merangkak gunakan empat kaki tangan, waktu dewasa, ia berdiri di dua kakinya dan kala tua ia dibantu satu tongkat bagi dua kaki rentanya.

Oedipus menang, Sphinx tewas. Oedipus pun menikah dengan Iokaste, tanpa mereka ketahui bahwa mereka adalah masih sedarah, asmara terlarang antara ibu dan anak kandung. Hubungan Oedipus dan Iokaste melahirkan banyak keturunan, di antaranya adalah Antigone.

Para dewa di Olimpus murka dengan kisah cinta haram antara anak dan ibu kandung ini, hingga dibongkarlah rahasia yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya. Musabab kematian Laios dan siapa pembunuhnya. Juga kemanakah anak yang dibuang dulu, menjadi siapakah hari ini. Segalanya menjadi terang benderang.

Iokaste seperti tertimpa petir demi mendengar siapakah Oedipus sebenarnya. Putera yang pernah dikandungnya sendiri. Si pembunuh suaminya, dan sekarang menjadi suami, juga ayah dari anak-anak Iokaste.
"Dosa apakah ini, ya Dewa" Hati Iokaste remuk.
Adakah lakon hidup seorang ibu yang lebih tragis dari pada yang dialami ini?

Sebagai seorang ibu, Iokaste tidak tahan menanggung malu, akhirnya ia memilih gantung diri, dan Oedipus yang merasa berdosa, menyusul dengan cara menusuk buta ke dua matanya.
Tahta pun jatuh ke tangan anak-anak Oedipus, yang kemudian menjadi sengketa kekuasaan, hingga perang saudara. Thebes hancur, koyak oleh perang. Kesalahan ditimpakan pada Oedipus, kemudian ia diusir dari Thebes oleh anak-anaknya dan mengasingkan diri menjadi pengemis buta, mengembara tanpa arah hingga ajalnya, ditemani putri tersayang, Antigone.

Sepeninggal Oedipus, Antigone sebantang kara di rantau, ia rindukan istananya, ia terkenang pada kerajaan Thebes, terkenang kebaikan ibunya, Iokaste, yang juga ternyata adalah neneknya. “Nenekku, Ibuku. ohh...” Keluhnya.

Di hari ini, nama Oedipus kita adobsi menjadi sebuah istilah dalam ilmu psikologi: Oedipus Complex, sebuah terminologi untuk merujuk pada sebuah fase ketika anak mengalami kelekatan dengan ibunya. Istilah dalam psikologi perkembangan ini pada perjalanannya mengalami pergeseran makna, sehingga awam menyebut Oedipus Complex, sebagai penyakit gangguan mental, yang artinya seseorang cenderung menyukai perempuan yang jauh lebih tua sebagai manivestasi dari pemujaan diri terhadap figur sang ibu.
Anak Mama, kata ABG sekarang!
Nah, adakah di antara kita, perempuan penyuka lelaki muda alias berondong? ataukah sebaliknya lelaki yang menyukai perempuan tua atau para mbakyu? Hehehe… SELAMAT HARI IBU

(Saya gubah dari Drama Atheba, Sophocles)

2 wicara:

Ragil Ajeng Pratiwi mengatakan...

Hmm ternyata eh ternyata..tapi si saya lebih tertarik cerita dramanya pak, dari pada rujukkanya mengenai laki-laki yang suka dengan wanita yang lebih tua hihi

www.pusat-grosir-surabaya.blogspot.com mengatakan...

Ya tapi banyak juga yang malah sebaliknya: lebih suka berondongnya Ketimbang dramanya, Jeng.hehehe

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE