data-ad-format="auto"

RUNTUHNYA NEGARA

Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag Surabaya


   Hari ini tanggal 26 Pebruari, tepatnya di tahun 1815, Napoleon Bonaparte melarikan diri dari Elba
   Sebuah pulau tempat ia dipenjara.
   Ia baru saja kalah perang di Eropa.
   Dan Perancis yang revolusinya mengilhami seantero dunia itu terancam runtuh: terancam mati sebagai negara.
   Pahit memang.
   Tapi, setidaknya Perancis akan mati karena kalah perang.
   Ia akan mati dengan penuh harga diri.
   Beda halnya dengan banyak negara lain, yang kebanyakan mati dengan sendirinya.
   Tidak tewas oleh musuh. Bukan oleh lawan di luar sana. Tidak pula karena habis umur masa berlakuya.
   Negara lain tamat karena oleh dirinya sendiri.
   Dari sisi dalam.
   Dihabisi.
   Sedang algojonya adalah pembangkangan dan penyakit birokrasi.
   Tata Dunia Baru, PBB dan perangkat instrumen hukum internasional, tidak memberi ruang bagi negara untuk mengakuisisi negara lain. Pun jika itu dilakukan oleh sang Super Power.
   Jadi jika ada negara ambruk, tentu lebih karena faktor pembangkangan dari dalam.
   Oleh berbagai ketidakpuasan.
   Tusukan-tusukan pemberontak: Sparatis yang berkali-kali.
   Kalau tidak, pastilah oleh sistem politik bernegara yang majal. Sistem Politik yang dibangun oleh gerombolan Parpol berwatak vested interest. Parpol yang miskin ideologi. Juga oligarkhi.
   Partai politik yang buntu dari ideologi massa, tak ubahnya sebuah gerobak sampah. Tempat onggokan oligarki bercokol. Di mana garis perjuangan dirampok, untuk diganti dan dijejalkan padanya, pragmatisme sesaat. Cara licik untuk selundupkan kaki tangan. Dan pada ujungnya adalah, lahirnya anggota parlemen salon, yang terdiri dari gerombolan bandit berjubah legeslatif. Di situ menyelinaplah kepentingan: Klik !
   Praktis, Aspirasi menjadi macet.
   Suara konstituen mampet!
   Setelah semua itu: Apatisme menyeruak di sana sini. Ketakacuhan massal terjadi. Setiap orang mencari hidup sendiri sendiri. Saling tidak peduli. Negara benar-benar telah dicerai.
   Apatisme, Golput berjaya kibarkan panji.
   Negara mau ambruk kek, mau bangkit kek, mau lari kek. Peduli amat.
   Rantai efek dari genangan manusia a politic ini tentu saja adalah terbentangnya jalan lenggang bagi para idiot berwatak Despotis untuk memegang tampuk tanpa halangan.
   Dari situ, lalu berlangsunglah pembusukan secara perlahan.
   Akhirnya pembangkangan pemimpin terhadap konstitusi direstui.
   Pengingkaran polisi atas hukum sendiri, tak berani dilerai. 
   Korupsi birokrasi rutin terjadi.
   Sangat bernyali, sangat sehari-hari.
   Semuanya dipahami.
   Segalanya ditoleransi.
   Stempel kebenaran dicari.
   Kesalahan, pun juga dosa dicuci dengan regulasi. 
   Legitimasi !
   Tanpa seorangpun menangisi.
   Negara tamat, lebih karena serangan penyakit: parasit partai politik, birokrasi korup, hukum tumpul, pers yang permisive, dan nilai moral yang bangkrut.
   Patologi Sistemik semacam ini, menular.
   Kronis.
   Seperti TBC, meruyak, menggerogoti. Merayap pelan ke seluruh sendi.
   Sekarat.
   Kemudian terbatuk untuk terakhir kali.
   Lantas selamanya, pergi..

   Barangkali, Indonesia adalah si sakit itu.
   Sebuah negeri yang sedang merangkak di lorong kengerian. Dalam perjalanan menuju ajal.
   Mungkin Karena konstitusi telah menjadi seperti deretan teks mati. Pada pigora sebuah museum sepi.
   Dan kita bersama-sama ikut menikamnya bertubi-tubi.

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE