data-ad-format="auto"

PARADOKSAL TEROMPET TAHUN BARU

Achluddin Ibnu Rochim

FISIP UNTAG Surabaya


(Zou Lee,.. Maafkan aku yang lupa tanggal berapa Tahun Baru itu)

Sudah berhari-hari ini Fakir duduk mematung di tepi sungai.
Bingung mencari jawaban buat si Miskan, anak lelaki satu-satunya yang masih duduk di bangku kelas tiga SMP.
"Bapak, tahun baru nanti, Miskan jadi dikasih duwit kan? Semua teman Miskan sudah pada punya terompet, tinggal Miskan yang belum" kata Miskan suatu sore saat Fakir baru tiba dari paberik.
Fakir diam, tak menjawab. Dan sejak itu pula Fakir tak pernah lagi bicara atau tertawa. Miskan juga tak pernah lagi bertanya. Ia menyadari situasi bapaknya yang kesulitan, apalagi minggu sebelumnya telah turun surat PHK dari paberik tempat bapaknya selama ini menjadi kuli gudang. Desakan hidup sedemikian menjepit.
Dipendamnya dalam-dalan harapan miskan untuk bisa rayakan tahun baru bersama teman-teman sepermainan.
Tradisi Tahun Baru.
Tradisi tiup terompet.
Tradisi yang entah dari mana datangnya, tetapi bisa teramat memusingkan kepala Fakir.
Miskan dan Fakir tidak pernah tahu, bahwa, meniup terompet bukanlah tradisi moyang mereka. Tradisi yang konon datang dari masa 1.500 tahun sebelum Masehi dan bertahan hingga masa pertengahan Renaissance. Alat musik tiup yang diperuntukkan bagi keperluan ritual masyarakat Yahudi saat menyambut tahun baru bangsa mereka, tepat pada bulan ke tujuh pada sistem penanggalan mereka. Prosesi yang dilakukan sebagai bentuk introspeksi diri dengan cara meniup shofar, sebuah alat musik sejenis terompet. Bunyi shofar inilah yang akhirnya berubah menjadi terompet kertas, biasa dibunyikan orang di malam Tahun Baru: dan sekarang ini Miskan, juga Fakir, menjadi terluka karenanya.
Luka akibat tradisi yang bukan berakar dari puak Nusantara. Sebuah tradisi tiup yang jauh lebih tua dibanding perayaan tahun baru itu sendiri.
Konon, Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari tahun ke 45 sebelum masehi. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma. Satu-satunya penguasa yang menganggap enteng dan berani membreidel penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh Sebelum Masehi, untuk diganti dengan kalender astronomi dari Iskandariyah, yang dibuat dengan acuan revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Bagi Julius Caesar, kalender hanyalah soal selera, sebagai tolok ukur waktu. Jadi mengapa harus ditangisi?
Bukankah Tahun Baru hanyalah soal penanda? Sebagai wujud pergerakan waktu yang toh ini kita alami setiap saat? Mulai dari scala waktu mili detik (seperseribu detik), mikro detik (seper satu juta detik), nano detik (sepermilyar detik), piko detik (sepertrilyun detik)?
Dari detik ke menit, ke jam, lantas ke hari, pekan, bulan, tahun, windu, dekade, abad, milenium dan seterusnya?
Bukankah hakekat waktu itu adalah seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan atau keadaan berada atau berlangsung?
Jika skala waktu merupakan interval antara dua buah keadaan/kejadian, atau lama berlangsungnya suatu kejadian, maka 2013 ke arah 2014 hanyalah interval dari Skala waktu yang diukur dengan satuan Tahun: karenanya ada titik pergantian yang jatuh tepat pada Jam 00:00 yang kita sebut sebagai malam Tahun Baru.
Jadi apanya yang membuat banyak orang larut emosi dalam histeria massive yang mahal ongkosnya itu?
Patut diakui, memang, tiap masyarakat memilki pandangan yang berbeda terhadap waktu yang mereka jalani. Bagi masyarakat Barat yang melihat konsep waktu sebagai sebuah garis lurus (linier). Konsep ini terbentuk dari urutan kejadian sejarah manusia dilihat sebagai sebuah proses perjalanan pada sebuah garis waktu; zaman dulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang. Dengan kata lain, waktu tak pernah mundur apalagi berulang. Sehingga wajar waktu begitu berharga bahkan ditangisi oleh masyarakat Barat. Tapi kita masyarakat timur berbeda dengan Barat, sebagian besar masyarakat kita, apalagi Hindu, melihat waktu sebagai sebuah siklus yang terus berulang tanpa akhir. Cara pandang terhadap waktu bukan hanya sekedar bagaimana melihat detak jarum berputar pada jam tangan atau jam dinding, namun waktu lebih dimaknai sebagai kesempatan, berkah dan karya berlangsung berkesinambungan mengukir hidup tiada henti. Kebebasan waktu terjadi manakala kita berdaya berikan segala cipta, karsa, dan rasa bagi segenap alam. Dengan cara pandang semacam ini, maka tak layak kita menangisi pergantian waktu, toh waktu bagaikan Cakramanggilingan ataupun Kolomunyeng! Kalau tidak bisa hari ini di kehidupan ini, mungkin bisa di hari lain, di kehidupan lain. Barangkali 'Alam' belum menghendaki, buat apa disesali?
So, dari sini kita tahu bahwa perayaan tahun baru hanyalah perayaan atas penanda pergantian tahun kalender Gregorian.
Tapi nampaknya kita memang tak peduli dengan tetek bengek sejarah itu. Kita lebih suka dengan pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika setiap orang membuang energi di malam tahun baru sebesar Rp.10000 untuk transportasi, dengan asumsi jumlah yang merayakan tahun baru 12 juta penduduk Indonesia, maka kita bisa tahu berapa nilai energi yang dihambur-hamburkan dalam semalam saja? Belum lagi nilai yang harus dikeluarkan untuk recovery lingkungan yang terkontaminasi sebagai side effect polutan. Apakah hanya itu? Tidak!
Perhelatan acara malam yang dilindungi dengan Peraturan Gubernur ini, masih bisa menguras nominal lebih dalam lagi melalui tarrif. Hotel bintang 4, 5, convention center dan concert hall Rp 10 juta per sekali acara. Untuk hotel bintang 2 dan 3 Rp 5 juta per sekali acara. Untuk hotel melati Rp 2 juta per sekali acara. Klab malam dan diskotek Rp 5 juta per sekali acara, restoran, rumah makan, kedai kopi, bar, pub, balai pertemuan, Rp 2 juta per sekali acara dan bioskop untuk sekali pertunjukan film Rp 600 ribu. Di momen ini omzet industri hiburan menanjak rata-rata sebesar 30 persen.
Tidak aneh jika setiap jelang tahun baru, peredaran uang alami kenaikan rata-rata sebesar 4,2 Triliun dibandingkan dengan peredaran uang normal harian yang rata-rata sekitar Rp 4 triliun.
Sayangnya, Fakir dan Miskan tidak pernah miliki akses ke arah 4,2 Triliun yang beredar dihamburkan untuk perayaan tahun baru itu. Tapi mereka tidak sendiri, sebab di sebuah wilayah NTT sana, daerah Timor Tengah Selatan tepatnya di Desa Oekiu, warga tak kenal apa itu tahun baru, sebab dalam benak mereka hanyalah bagaimana cara agar bisa mengonsumsi biji asam untuk menggantikan nasi.
Beras (raskin dari pemerintah) dan sayuran tidak mampu mereka beli, kalaupun bisa hanya sedikit itupun mereka prioritaskan untuk anak-anak mereka.
Pada saat Jakarta, Surabaya, Denpasar membuang Triliunan Rupiah jelang Tahun Baru, maka di saat yang sama hampir seluruh wilayah cakupan provinsi NTT terancam kelaparan. Ada 862 desa di NTT yang terancam nyawa karena rawan pangan.
Ketika Jakarta, Surabaya, Denpasar dengan glamour bermandikan energi, Kabupaten Ende lama berkubang hidup tanpa listrik dan air bersih.
Selebrasi Tahun Baru 2014 ini akan seperti palu godam, teramat memukul bagi 9,25 juta orang yang masih berstatus pengangguran. Hantaman menyakitkan bagi 5.919.290 anak usia sekolah yang rawan putus sekolah karena kesulitan biaya dan 390.884 anak yang terancam putus sekolah.
Tahun Baru adalah pemborosan mengerikan karena cara pandang Jakarta, Surabaya, Denpasar yang keliru atas Tahun Baru itu. Padahal Tuhan membenci inefisiensi. Bukankah sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan?
Tahun Baru identik atau sama dengan potret kita, tentang bagaimana menyikapi gap sosial antar sesama anak bangsa.
Tahun Baru, Pemborosan Nasional versus Kemiskinan Absolut, dan pemenangnya adalah 'sang kematian bangsa' itu sendiri.

6 wicara:

Unknown mengatakan...

:'(, sungguh tradisi yg cukup menyesakkn dada bagi si fakir.
Jika smw orang membaca dan memahami hal ini, akankah tradisi pemborosan nasional ini bisa taratasi pa?

www.pusat-grosir-surabaya.blogspot.com mengatakan...

Ya termasuk buat pembaca yang berencana pergi tahun baruan ke jakarta ituloh...hehehe

Unknown mengatakan...

Heeeemmmh...papa.....
Org yg mau ke Jkt itu sudah mengurungkn niatx.

www.pusat-grosir-surabaya.blogspot.com mengatakan...

Hehehe baiklah nak, baiklah...

Unknown mengatakan...

semuanya masih seragam, berpikir moment ini hanya setahun sekali, bepikir harus dirayakan sesuatu itu. padhal belum tentu ngerti "sesuatu" itu apa. ditambah lagi bekeyakinan akan menjajikan kegembiraan pak. hehehe

www.pusat-grosir-surabaya.blogspot.com mengatakan...

Yah gimana lagi kadung jadi gaya hidup! Buat kita saja yang harus selalu waspada, sebab banyak perangkap dari sesuatu yang bernama 'kegembiraan'.

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE