Oleh: Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag SURABAYA
FISIP Untag SURABAYA
“Bagaimana aku tahu?” dan “Dapatkah kupastikan?” adalah slogan bagi landasan filosofi kaum empirisme.
Lalu apa kaitan slogan di atas dengan forum sawo?
Barang kali, seluruh klaim kita atas
pengetahuan di luar matematika menyisakan kesangsian, tidak sistematis, dan
tidak didukung metode pembuktian yang dapat diterapkan pada semua penyelidikan.
Tapi tidak demikian dengan para penempuh kebenaran, anak-anak kampus itu.
Ya anak-anak yang menggerombol diri di bawah pohon sawo depan FISIP, tempat mereka berusaha dipintarkan dan dibuat mengerti. Pada kaum yang setia menapak tilas pada ‘Jalan Cartesian’ inilah, rute jernih yang ditopang oleh Metode mengkritik klaim-klaim atas pengetahuan, Metode kesangsian, dan Tolok ukur kepastian, menjadi obor pada pencarian rasa ingin tahu. Sekaligus merupakan jawaban dan penegasan atas kaitan mereka dengan slogan empirisme di atas.
Ya anak-anak yang menggerombol diri di bawah pohon sawo depan FISIP, tempat mereka berusaha dipintarkan dan dibuat mengerti. Pada kaum yang setia menapak tilas pada ‘Jalan Cartesian’ inilah, rute jernih yang ditopang oleh Metode mengkritik klaim-klaim atas pengetahuan, Metode kesangsian, dan Tolok ukur kepastian, menjadi obor pada pencarian rasa ingin tahu. Sekaligus merupakan jawaban dan penegasan atas kaitan mereka dengan slogan empirisme di atas.
Hanya lewat sistem dan metode
sajalah pengetahuan dapat disusun di atas fondasi yang mantab. Seru Rene
Decartes dalam Discourse on Methode
(1637). Pun berfilosofi secara tepat harus pula dimulai dari
kebenaran-kebenaran yang paling sederhana dan paling jelas, baru perlahan
menuju ke arah kebenaran-kebenaran yang lebih rumit, seraya memastikan dulu,
bahwa di tiap tahap sudah tidak ada lagi hal-hal yang dapat diragukan. Setiap
anggapan atau pernyataan yang masih dibayangi kesangsian harus dipinggirkan,
hingga berakhir pada kebenaran-kebenaran telak dan terbukti dengan sendirinya.
Inilah dasar-dasar kepastian pengetahuan.
Bukankah pengetahuan sebagian
dibangun dari rasa kesangsian? Diterapkannya metode kesangsian sedemikian
penting, sehingga di sebuah waktu terlahirlah dalil telak ini: “Aku berpikir,
maka aku ada”, ujar Rene Decartes, dalam Meditation
on the first philosophy (1641) Cartes telah mengatasi proses kontemplasinya,
dengan hasil: kesangsian yang dipinggirkan dan kepastian atas eksistensi diri
diperoleh. Lalu didapatkannya kebenaran mutlak lain, ialah keberadaan Tuhan,
tanpa sangsi lagi.
Tapi, apa iya? Aku berpikir, maka
aku ada? Ini juga merupakan sebentuk kesangsian saya dan anak-anak Forum Sawo
atas jargon Cartes, cogito ergo sum,
tersebut.
Saya pernah bertanya pada
anak-anak Forum Sawo: yang dimaksud ‘aku’ di sana siapa atau apa? Untuk sekian
jenak mereka merenung, setelahnya lalu terjadi diskusi, dengan kesimpulan
sementara – karena mereka selalu sangsi: bahwa ‘aku’ tidak lain merupakan
sekumpulan data, fakta, informasi, dan pengalaman yang dicerap melalui
penginderaan semenjak lahir hingga sekarang. Keseluruhan inputan dunia
eksternal melalui penginderaan itulah yang menjadikan ‘aku’. Dengan begitu
dunia eksternal mengkonstruk ‘aku’ sekaligus menegaskan eksistensinya melalui
‘aku’.
Lalu, ‘aku’ tersebut apa? Tanya
saya.
Sang kesadaran, jawab mereka.
Saya tercengang dengan hasil
diskusi mereka. Dengan beban latar belakang Skolastik –karena sebagian besar
berasal dari pendidikan keagamaan - yang masih memberati, mereka ternyata
berani mengesampingkan doktrin agama yang mempengaruhi hidupnya selama ini dan
bahkan mampu merevisi pendapat Cartes, anak-anak menolak gagasan Cartes tentang
‘essensi jati diri’ yang terlepas dari dunia luar. Bagi mereka ‘aku’ atau ‘jati
diri’ atau ‘sang kesadaran’, semuanya dikonstruk dengan bahan-bahanya dari
dunia luar. Meskipun anak-anak ini juga lupa bahwa kebenaran empirisme
seringkali mengelabuhi mereka, kebenaran panca indera juga musti disangsikan
karena panca indera juga penipu.
Nah lo... Episteme lagi.

https://orcid.org/0000-0003-2892-5411
0 wicara:
Posting Komentar